Misi Kemanusiaan ke Gaza Terhambat, Zaskia Adya Mecca dan Tim Hadapi Kendala di Mesir
Perjalanan Zaskia Adya Mecca bersama Ratna Galih, Indadari, Wanda Hamidah, dan enam Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya dalam misi kemanusiaan Global March to Gaza menemui sejumlah tantangan. Mereka tiba di Kairo, Mesir, dengan tujuan bergabung bersama aktivis dari berbagai negara untuk menyuarakan dukungan bagi Palestina.
Global March to Gaza sendiri merupakan aksi jalan kaki yang direncanakan menempuh jarak sekitar 50 kilometer dari Kairo menuju Gerbang Rafah. Aksi ini melibatkan ribuan peserta dari lebih dari 50 negara, dengan puncak acara diharapkan berlangsung pada 15 Juni 2025, ketika para peserta mencapai Gerbang Rafah untuk menyerukan pembukaan akses bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Melalui unggahan di media sosial, Zaskia Adya Mecca menceritakan pengalaman mereka saat tiba di pos pemeriksaan pertama. Dia menggambarkan pengawasan ketat yang dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk pemeriksaan bus dan hotel tempat mereka menginap oleh polisi dan intelijen. Bahkan, ponsel dan media sosial para peserta turut diperiksa.
Zaskia mengungkapkan bahwa mereka mendaftar sebagai peserta secara resmi di bawah bendera Malaysia karena keterlambatan pendaftaran yang menyebabkan tidak adanya perwakilan utama atas nama Indonesia. Meskipun demikian, mereka tetap bertekad untuk terlibat dalam aksi kemanusiaan tersebut.
Istri dari sutradara Hanung Bramantyo ini juga menjelaskan bahwa para peserta telah diberi pengarahan mengenai potensi risiko yang mungkin terjadi, mengingat aksi ini merupakan gerakan perdamaian dengan risiko tinggi. Panitia penyelenggara pun terus berupaya melakukan negosiasi dengan pemerintah Mesir.
Kondisi di lapangan ternyata berbeda dari yang diharapkan. Sejumlah aktivis dilaporkan ditangkap dan dideportasi. Zaskia dan timnya merasa lega karena proses imigrasi mereka berjalan lancar dan mereka tidak langsung dideportasi seperti peserta lainnya. Namun, suasana di hotel tempat mereka menginap terasa tidak nyaman, dengan kehadiran polisi yang mencatat paspor dan mengawasi mereka.
Kabar buruk datang ketika panitia penyelenggara tidak mencapai kesepakatan dengan pihak berwenang. Peserta long march dianggap ilegal dan polisi diberi wewenang untuk melakukan penangkapan. Razia kembali terjadi di hotel mereka, dan empat turis sempat dibawa oleh pihak berwajib. Zaskia dan timnya pun berupaya melakukan negosiasi.
Zaskia menyadari bahwa mereka harus mengambil tindakan yang tepat, mengingat aksi tetap berjalan dan setiap peserta mengambil risiko masing-masing. Namun, situasi mereka menjadi lebih sulit karena mereka merasa "terkunci" untuk bergerak akibat penjagaan ketat dari sekitar 20 polisi, intelijen, dan mobil tahanan yang disiapkan khusus untuk mereka.
Hanung Bramantyo, sebagai suami, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan Zaskia. Akan tetapi, dia memberikan restu dan dukungan penuh atas partisipasi istrinya dalam aksi tersebut. Hanung menekankan pentingnya menyuarakan apa yang terjadi di Gaza, terutama krisis kelaparan yang dialami oleh anak-anak, orang tua, dan perempuan. Menurutnya, ini bukan hanya soal agama, tetapi juga soal kemanusiaan.
Hanung Bramantyo menambahkan bahwa Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Indadari, dan Wanda Hamidah adalah perempuan-perempuan yang memiliki pengaruh di media sosial. Kehadiran mereka, meskipun hanya sepuluh orang, memiliki kekuatan untuk mempengaruhi banyak hal dan menyuarakan isu kemanusiaan di Gaza.