Sengketa Empat Pulau: Menjaga Harmoni Aceh di Tengah Pusaran Kepentingan

Sengketa Empat Pulau: Menjaga Harmoni Aceh di Tengah Pusaran Kepentingan

Sengketa kepemilikan atas empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara telah berkembang menjadi isu kompleks yang melampaui sekadar perselisihan administratif. Akar permasalahan ini menyentuh aspek identitas masyarakat, keadilan, serta potensi perebutan sumber daya alam. Penanganan yang kurang tepat berisiko mengganggu stabilitas regional dan mengancam persatuan yang telah terjalin pasca-reformasi.

Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan bukanlah sekadar titik di peta. Masyarakat setempat memiliki ikatan historis dan budaya yang kuat dengan tanah Aceh. Keterkaitan ini bukan hanya sebatas tempat tinggal, tetapi juga menyangkut identitas kolektif yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Aceh memiliki kekhususan yang diakui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Oleh karena itu, setiap kebijakan terkait wilayah Aceh, terutama perubahan batas wilayah, memerlukan kehati-hatian dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dianggap mengabaikan prinsip-prinsip dasar bernegara dan berpotensi melukai semangat rekonsiliasi pasca-Perjanjian Helsinki.

Pendekatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai terlalu teknokratis, hanya mengandalkan peta dan data administratif tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan historis. Hal ini dapat memperburuk situasi dan mengabaikan realitas sosiokultural yang ada di masyarakat. Menurut perspektif geografi politik, batas wilayah bukan sekadar garis spasial, melainkan simbol kekuasaan, identitas, dan legitimasi. Perubahan batas tanpa kesepakatan bersama dapat memicu konflik sosial karena masyarakat merasa kehilangan ruang hidup yang memiliki makna simbolis dan historis.

Teori Territorialitas menekankan bahwa wilayah merupakan ekspresi dari eksistensi kolektif suatu komunitas. Gangguan terhadap ekspresi ini dapat memicu resistensi karena masyarakat merasa dirampas ruang simboliknya. Negara perlu bertindak sebagai penjaga keadilan ruang, bukan hanya sebagai administrator.

Sengketa empat pulau juga diduga terkait dengan kepentingan politik dalam menguasai wilayah, terutama karena potensi cadangan minyak dan gas di Blok Sibolga yang berdekatan dengan wilayah sengketa. Hal ini mengindikasikan bahwa sengketa wilayah bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga upaya untuk menguasai sumber daya alam strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Diharapkan Presiden terpilih dapat menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Diperlukan kajian komprehensif yang mencakup aspek historis, sosial, budaya, dan hukum. Penanganan konflik batas tidak boleh hanya berdasarkan peta baru, tetapi juga harus mempertimbangkan sejarah dan sentimen publik. Proses ini penting untuk mencegah ketidakadilan yang dapat mendelegitimasi institusi negara.

Langkah selanjutnya adalah membentuk tim independen yang melibatkan akademisi, tokoh adat, dan masyarakat sipil dari kedua belah pihak untuk merumuskan solusi yang partisipatif dan adil. Aceh memiliki sejarah panjang perjuangan dan konflik. Perdamaian yang tercipta pasca-Perjanjian Helsinki adalah aset berharga yang harus dijaga dengan empati dan keadilan. Jangan biarkan konflik empat pulau ini menjadi ancaman bagi kohesi nasional.

Negara harus hadir sebagai pelindung yang memahami bahwa menjaga wilayah bukan hanya soal batas, tetapi juga soal menjaga kepercayaan rakyat terhadap negara dalam menjaga perdamaian Aceh.