Polemik Penggunaan Istilah 'Perkosaan Massal' 1998 Mencuat, Pemerintah Beri Tanggapan

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, turut angkat bicara terkait polemik yang berkembang seputar pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengenai peristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada tahun 1998. Isu ini mencuat setelah Fadli Zon mengomentari penggunaan istilah 'perkosaan massal' dalam konteks kejadian tersebut, yang kemudian memicu beragam reaksi dari masyarakat dan aktivis.

Pratikno menyampaikan bahwa pemerintah memahami sensitivitas isu ini dan mengakui adanya laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mencatat adanya tindak kekerasan seksual pada periode tersebut. Akan tetapi, fokus utama perdebatan saat ini terletak pada penggunaan kata 'massal' untuk menggambarkan skala kejadian tersebut. Menurut Pratikno, perbedaan pendapat ini menjadi inti dari polemik yang ada.

Fadli Zon sebelumnya telah memberikan klarifikasi terkait pernyataannya. Ia menekankan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menggunakan istilah 'perkosaan massal', mengingat implikasi serius yang dapat ditimbulkannya terhadap reputasi bangsa. Fadli Zon juga menyoroti bahwa laporan TGPF pada saat itu tidak menyertakan data pendukung yang kuat, seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, atau pelaku, yang dapat memvalidasi penggunaan istilah 'massal'.

Berikut poin-poin yang disampaikan Fadli Zon dalam klarifikasinya:

  • Mengapresiasi perhatian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi 1998.
  • Menyebut peristiwa 13-14 Mei 1998 menimbulkan silang pendapat, termasuk soal ada atau tidaknya perkosaan massal.
  • Menyatakan liputan investigatif majalah terkemuka tak mengungkap fakta kuat soal perkosaan 'massal'.
  • Laporan TGPF hanya menyebut angka tanpa data pendukung solid.
  • Menekankan perlunya kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
  • Mengutuk keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan di masa lalu dan kini.
  • Menegaskan pernyataannya tidak menihilkan penderitaan korban huru hara Mei 1998.
  • Menyebut kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran kemanusiaan mendasar.
  • Pentingnya ketelitian dan kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah 'perkosaan massal'.
  • Sejarah perlu bersandar pada fakta hukum dan bukti yang teruji secara akademik dan legal.
  • Istilah 'massal' telah menjadi pokok perdebatan selama lebih dari dua dekade.
  • Data peristiwa perkosaan massal 1998 tak pernah konklusif.

Lebih lanjut, Fadli Zon juga membantah tudingan bahwa narasi perempuan dihilangkan dalam buku Sejarah Indonesia. Ia menegaskan bahwa penulisan buku tersebut justru bertujuan untuk memperkuat pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa. Polemik ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperdalam pemahaman sejarah dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya penanganan isu kekerasan seksual secara komprehensif.