Pengakuan BJ Habibie tentang Kekerasan Seksual dalam Tragedi Mei 1998 Kembali Mencuat

Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengenai tidak adanya bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998, telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Di tengah perdebatan yang kembali menghangat ini, pernyataan almarhum Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengenai adanya tindakan kekerasan seksual pada periode tersebut kembali menjadi sorotan.

Dalam pidatonya di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 14 Agustus 1998, yang merupakan pidato perdananya sebagai Presiden, Habibie secara terbuka mengakui adanya kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998. Rekaman video pidato tersebut, yang diarsipkan oleh Associated Press (AP) Archive di platform Youtube, menjadi bukti otentik pernyataan tersebut.

Habibie, dalam pidatonya, menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia pada saat itu masih dihantui oleh trauma huru-hara massal yang terjadi pada bulan Mei 1998. Ia mengakui bahwa pada saat itu terjadi aksi penjarahan dan pembakaran terhadap pusat-pusat pertokoan yang meluas.

"Mereka juga masih dibayang-bayangi huru-hara massal yang dipicu oleh gugurnya keempat pahlawan reformasi pada 12 Mei 1998. Huru-hara berupa penjarahan, pembakaran pusat-pusat pertokoan," ujar Habibie dalam pidatonya.

Lebih lanjut, Habibie dengan tegas menyatakan bahwa selain penjarahan dan pembakaran, terjadi pula tindakan kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, khususnya yang berasal dari etnis Tionghoa.

"Dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perudungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama kelompok etnis Tionghoa," tegasnya.

Habibie mengecam tindakan tersebut sebagai sesuatu yang memalukan dan mencoreng citra bangsa Indonesia di mata dunia. Ia mengutuk segala bentuk kebiadaban yang terjadi.

"Seluruh rangkaian tindak kejahatan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri," ungkap Habibie dengan nada prihatin.

"Sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama, kita mengutuk perbuatan biadab tersebut," lanjutnya dengan penuh penekanan.

Pernyataan Habibie ini kembali relevan di tengah kontroversi yang dipicu oleh pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengenai pemerkosaan massal 1998. Pernyataan Fadli Zon tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk para aktivis dan Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan menyatakan bahwa para penyintas tragedi Mei 1998 telah lama menanggung beban penderitaan dalam diam. Penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang mereka alami dinilai sangat menyakitkan dan memperpanjang impunitas bagi para pelaku.

"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih.

Menanggapi kritik yang dilayangkan kepadanya, Fadli Zon memberikan klarifikasi. Ia mengapresiasi perhatian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Fadli Zon menyatakan bahwa peristiwa huru-hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan berbagai interpretasi dan perspektif yang berbeda, termasuk mengenai ada atau tidaknya pemerkosaan massal. Ia merujuk pada liputan investigatif sebuah majalah yang dianggap tidak berhasil mengungkap fakta-fakta kuat mengenai peristiwa tersebut.

Fadli Zon juga menyinggung laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menurutnya hanya menyebutkan angka tanpa data pendukung yang solid. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kehati-hatian dan ketelitian dalam membahas isu ini karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," jelas Fadli Zon.

"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan," tegasnya.