Sengketa Empat Pulau: Yusril Ihza Mahendra Batasi Penggunaan Perjanjian Helsinki dan UU 24/1956
Polemik kepemilikan empat pulau yang terletak di antara Aceh dan Sumatera Utara terus bergulir. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Keempat pulau yang menjadi rebutan adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Yusril menjelaskan bahwa Perjanjian Helsinki, yang seharusnya menjadi landasan perdamaian Aceh, hanya merujuk pada UU 24/1956 sebagai penentu wilayah Aceh. Namun, UU tersebut dinilai tidak memberikan batasan wilayah yang jelas.
"Perjanjian Helsinki menyebutkan bahwa wilayah Aceh adalah wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya.
Yusril menekankan bahwa UU 24/1956 hanya menyebutkan pembentukan Provinsi Aceh dengan beberapa kabupaten tanpa merinci batas-batasnya, baik antara Aceh dan Sumatera Utara maupun antar kabupaten di Aceh sendiri. Bahkan, Kabupaten Aceh Singkil, yang kini berbatasan dengan Tapanuli Tengah, belum terbentuk pada saat UU tersebut disahkan.
Implikasinya, keempat pulau yang dipersengketakan tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU 24/1956 maupun dalam Perjanjian Helsinki. Oleh karena itu, Yusril menyimpulkan bahwa kedua instrumen hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar utama dalam menyelesaikan sengketa.
Walaupun UU 24/1956 menjadi dasar pembentukan Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 1999, Yusril kembali menegaskan bahwa tidak ada satu pun pasal yang menyinggung status keempat pulau tersebut. Ia berpendapat bahwa penyelesaian sengketa batas wilayah kini harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015.
Yusril menjelaskan bahwa beberapa undang-undang pemekaran daerah telah mencantumkan koordinat wilayah yang jelas, tetapi banyak juga yang tidak. Ia menambahkan bahwa UU memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mengatur batas wilayah dengan Peraturan Mendagri (Permendagri).
Namun, hingga saat ini, belum ada Permendagri yang mengatur batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Saat ini, hanya ada Keputusan Mendagri (Kepmendagri) terkait kode wilayah administrasi yang mencantumkan keempat pulau tersebut dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
"Keputusan Mendagri (Kepmendagri) inilah yang memicu kehebohan beberapa hari terakhir ini. Saya berpendapat bahwa Kepmendagri ini nanti harus direvisi segera setelah terbitnya Permendagri yang mengatur tapal batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah," tegas Yusril.
Sebelumnya diberitakan, polemik ini mencuat setelah Kemendagri mengeluarkan keputusan yang memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara. Keputusan ini didasarkan pada Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Keputusan tersebut memicu reaksi beragam dari kedua daerah. Pemerintah Aceh mengklaim memiliki jejak historis di pulau-pulau tersebut, sementara Pemerintah Sumatera Utara berpegang pada hasil survei yang dilakukan oleh Kemendagri. Sengketa wilayah ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan belum menemukan titik terang.