Mencegah Keracunan Massal: Desentralisasi Program Makanan Bergizi Gratis Sebagai Solusi Efektif

Desentralisasi Program Makanan Bergizi Gratis: Belajar dari India, Brasil, dan Jepang untuk Cegah Keracunan Pangan

Tujuan nomor dua dari Sustainable Development Goals (SDGs) adalah memberantas kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030. Sebagai wujud komitmen terhadap tujuan ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto mencanangkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak sekolah. Namun, implementasi program ini kerap kali diwarnai insiden keracunan massal, yang mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam sistem pelaksanaan dan pengawasan.

Kasus keracunan yang terjadi di berbagai daerah, seperti Cianjur dan Bogor, menjadi bukti nyata. Pada bulan April lalu, kepolisian menemukan bakteri berbahaya seperti Staphylococcus sp., Escherichia coli (E. coli), dan Salmonella sp. pada sampel makanan MBG di MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur. Tidak lama berselang, pada bulan Mei, ratusan siswa di Kota Bogor mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG yang terkontaminasi bakteri Salmonella sp. dan E. coli pada menu telur saus barbekyu dan tumis tauge tahu.

Persoalan mendasar dari berulangnya kasus keracunan ini adalah kurangnya rasa kepemilikan dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam program MBG. Hal ini disebabkan oleh sentralisasi program yang menyebabkan peran serta sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah kurang optimal dalam pengawasan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan desentralisasi program makanan bergizi, seperti India, Brasil, dan Jepang.

Pelajaran Desentralisasi dari Negara Lain

  • India: Melalui program Mid Day Meal Scheme (MDM), India melibatkan komite manajemen sekolah (School Management Committees/SMCs) dalam pengawasan. SMC di Delhi, contohnya, terdiri dari kepala sekolah, perwakilan orang tua/wali murid dari berbagai strata ekonomi, perwakilan otoritas lokal, guru, dan pekerja sosial. Pemilihan anggota SMC sangat ketat, dengan kuota perempuan minimal 50% dan representasi dari berbagai bidang ilmu untuk guru. Rapat rutin SMC direkam untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
  • Brasil: Program Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) di Brasil memberikan otonomi kepada pemerintah daerah untuk menentukan menu makanan yang sesuai dengan pedoman gizi lokal. Program ini juga melibatkan orang tua siswa sebagai pekerja, sehingga memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal.
  • Jepang: Pemerintah kota dan kabupaten di Jepang bertanggung jawab atas program Shokuiku, yang fokus pada pemberian makanan aman dan bergizi bagi anak sekolah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana sendiri dan menerima subsidi dari pemerintah provinsi dan pusat. Program ini melibatkan guru yang ahli di bidang pangan dan gizi, serta mendorong penggunaan produk pangan lokal untuk menggairahkan ekonomi daerah.

Program-program di atas memiliki kesamaan, yaitu desentralisasi dengan mengoptimalkan peran sekolah, pemerintah, dan masyarakat lokal, termasuk guru dan orang tua/wali murid.

Desentralisasi MBG di Indonesia

Desentralisasi program MBG di Indonesia sangat relevan mengingat luasnya wilayah dan keragaman budaya, adat istiadat, serta potensi pangan lokal. Dengan memberikan otonomi kepada daerah, diharapkan potensi dan sumber daya lokal dapat dioptimalkan dalam penyediaan bahan pangan, pengolahan, penyaluran, dan pengawasan MBG.

Desentralisasi MBG diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat, sehingga program ini dapat berjalan sukses dan mencegah terjadinya kasus keracunan pangan. Dengan demikian, tujuan SDGs nomor 2 untuk memberantas kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi dapat tercapai.