Indonesia Pacu Pemanfaatan Potensi Rumput Laut: Peluang Pasar Global Terbuka Lebar

Indonesia memiliki potensi besar dalam budidaya rumput laut, namun pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Meskipun berkontribusi signifikan terhadap pasokan rumput laut global, hanya sebagian kecil lahan budidaya yang termanfaatkan.

Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, Tb Haeru Rahayu, mengungkapkan bahwa Indonesia menyumbang sekitar 38% dari total pasokan rumput laut dunia. Ironisnya, dari keseluruhan lahan potensial untuk budidaya, baru sekitar 11,65% yang telah dimanfaatkan secara efektif. Hal ini mengindikasikan peluang besar yang belum digarap secara maksimal.

Saat ini, sebagian besar budidaya rumput laut masih dilakukan oleh petani skala kecil di wilayah pesisir dengan menggunakan metode tradisional. Padahal, rumput laut memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada sekadar sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir. Komoditas ini juga dapat menjadi solusi untuk:

  • Ketahanan pangan
  • Mitigasi perubahan iklim
  • Pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menambahkan bahwa rumput laut memiliki potensi besar sebagai bahan baku untuk:

  • Biofarmasi
  • Kosmetik ramah lingkungan.

Selain itu, rumput laut dapat menjadi alternatif pengganti plastik yang lebih berkelanjutan. Rumput laut juga berperan sebagai penyerap karbon alami melalui fotosintesis. Dalam jumlah besar, rumput laut dapat melindungi garis pantai dari erosi dan dampak buruk badai, yang semakin diperparah oleh perubahan iklim.

Laporan Future Market Insights memproyeksikan bahwa nilai pasar global rumput laut akan mencapai US$9,4 miliar pada tahun 2025 dan melonjak menjadi US$23,9 miliar pada tahun 2035. Angka ini mencerminkan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 9,8%. Proyeksi ini menggarisbawahi besarnya peluang pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia.

Untuk mendukung perluasan potensi dan peningkatan produktivitas rumput laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengembangkan model budidaya rumput laut di beberapa daerah, termasuk Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Rote Ndao (NTT), dan Maluku Tenggara (Maluku). KKP juga menerapkan strategi revitalisasi dan pengembangan bibit unggul berbasis kultur jaringan yang ramah lingkungan.

Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2024 mencapai 10,80 juta ton, meningkat 10,82% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi ini didominasi oleh jenis Kappaphycus alvarezii, diikuti oleh Gracilaria spp dan Eucheuma spinosum. KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya telah menyiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan produksi rumput laut, baik untuk memperkuat ekspor maupun ketahanan pangan nasional.

Pengembangan rumput laut juga melibatkan kerja sama global, salah satunya melalui United Nations Task Force on Seaweed (UNTFS). Kerja sama ini bertujuan untuk mengeksplorasi jenis rumput laut baru di luar Kappaphycus dan Gracilaria, yang selama ini umum dibudidayakan di Indonesia. Dengan keanekaragaman hayati laut dan garis pantai yang luas, Indonesia memiliki posisi strategis untuk memperluas budidaya rumput laut jenis baru.

Indonesia berpeluang untuk memimpin pembentukan Pusat Inovasi Rumput Laut Asia Tenggara di bawah koordinasi UNTFS. Pusat ini akan menjadi wadah pertukaran pengetahuan, proyek percontohan, dan pelatihan. Melalui kolaborasi ini, Indonesia dapat berperan dalam pengembangan standar global untuk budidaya rumput laut berkelanjutan, termasuk penerapan biosekuriti dan standar kualitas untuk ekspor.