Dilema Pembangunanisme: Antara Kemajuan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Pembangunan, sebuah konsep yang sarat akan harapan sekaligus potensi konflik, menjadi topik perdebatan hangat di berbagai belahan dunia. Secara ideal, pembangunan diartikan sebagai upaya untuk membangun, memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat. Namun, implementasinya seringkali berbenturan dengan realitas sosial dan ekologis di lapangan.
Paham pembangunanisme atau developmentalism, yang mengakar kuat pada gagasan kemajuan ala modernitas, memandang pembangunan sebagai kunci menuju kemodernan. Sejarah mencatat, konsep ini telah menjadi salah satu ideologi Barat yang paling berpengaruh. Salah satu unsur utama dalam pembangunanisme adalah metafora pertumbuhan, yang menganggap pembangunan sebagai sebuah organisme yang terus berkembang secara terarah dan kumulatif. Namun, benarkah pembangunan selalu membawa manfaat bagi semua pihak?
Kontroversi seputar aktivitas pertambangan, khususnya dalam konteks pembangunanisme, mencuat ke permukaan. Pandangan yang berbeda-beda muncul, mulai dari dukungan terhadap pertambangan yang dianggap sebagai kegiatan yang dibenarkan dan bermanfaat, hingga penolakan keras terhadap aktivitas tersebut karena dampaknya terhadap lingkungan. Bahkan, muncul istilah "Wahabi Lingkungan" untuk menggambarkan kelompok yang secara ekstrem menentang segala bentuk pertambangan.
Pertambangan dan Janji Kesejahteraan Ekonomi
Dalam kerangka pembangunanisme, kegiatan pertambangan, termasuk penambangan nikel di wilayah seperti Raja Ampat, seringkali dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan bahkan tak terhindarkan. Industri nikel, dengan potensi ekonomi yang sangat besar, menjadi primadona baru seiring dengan perkembangan pesat industri kendaraan listrik. Pemerintah mengklaim bahwa ekspor nikel telah melonjak secara signifikan setelah digenjotnya program hilirisasi.
- Nilai ekspor nikel melonjak dari 5,4 miliar dollar AS pada 2013 menjadi 35,6 miliar dollar AS pada 2022.
Namun, klaim tentang manfaat ekonomi industri nikel tidak sepenuhnya tanpa cela. Studi yang dilakukan oleh CREA dan Celios menyoroti adanya degradasi lingkungan yang signifikan akibat aktivitas pertambangan nikel, seperti penurunan kualitas air, tanah, dan udara. Bahkan, dalam jangka panjang, petani dan nelayan berpotensi mengalami kerugian ekonomi yang cukup besar.
- Penurunan kualitas air, tanah dan udara.
- Dalam 15 tahun dari sejak aktivitas penambangan dimulai, para petani dan nelayan justru akan tekor hingga Rp 3,64 triliun.
Selain itu, Climate Rights International juga mengungkapkan bahwa penambangan nikel di Halmahera mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih dan meningkatkan risiko bencana banjir akibat penggundulan hutan. Greenpeace Indonesia mencatat bahwa hingga tahun 2023, total area tambang nikel mencapai 45.588 hektar, yang sebagian besar menyebabkan deforestasi langsung.
- Penambangan nikel di Halmahera mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih.
- Meningkatkan risiko bencana banjir akibat penggundulan hutan.
- Total area tambang nikel mencapai 45.588 hektar, yang sebagian besar menyebabkan deforestasi langsung.
Pembangunanisme dan Kerusakan Lingkungan: Sebuah Dilema
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas pertambangan di Indonesia masih identik dengan praktik bad mining yang merugikan lingkungan dan masyarakat lokal. Hal ini menggugat pandangan bahwa pertambangan selalu membawa manfaat dan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.
Metafora pertumbuhan yang menjadi landasan pembangunanisme tidak selalu berjalan sesuai harapan. Manusia sebagai subjek pembangunan seringkali tidak merasakan manfaatnya secara langsung, sementara lingkungan justru menjadi korban utama. Oleh karena itu, gagasan ecodevelopment atau pembangunan berwawasan lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an menjadi relevan untuk dipertimbangkan kembali.
Namun, implementasi ecodevelopment tidaklah mudah. Variabel kekuasaan memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang memiliki hak untuk memobilisasi sumber daya, menguasai keuntungan, dan menghentikan proses pembangunan yang merusak. Dalam kasus pertambangan di Raja Ampat, misalnya, pemerintah memiliki otoritas untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan yang melanggar aturan, tetapi juga memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan industri nikel demi pertumbuhan ekonomi.
Pada akhirnya, pembangunanisme seringkali menjadi kepanjangan tangan kapitalisme, sebuah sistem ekonomi yang cenderung rakus dan sulit untuk berhenti mengeksploitasi sumber daya alam. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kapitalisme sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan?
Di tengah kerusakan bumi yang semakin parah akibat industrialisasi yang tak terkendali, penting bagi manusia untuk menyadari bahwa kita adalah bagian dari biosfer, lapisan bumi yang menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup. Menjaga kestabilan, kesehatan, dan kelangsungan biosfer adalah kepentingan bersama. Oleh karena itu, etika lingkungan harus menekankan bahwa manusia adalah produk dan rekan planet ini, bukan penguasanya.