Antara Mimpi dan Realita: Mengelola Sumber Daya Tambang untuk Kemakmuran Bangsa
Isu pertambangan, khususnya di wilayah seperti Raja Ampat, seringkali memicu perdebatan sengit. Muncul pandangan bahwa pertambangan lebih banyak membawa dampak negatif daripada manfaat. Namun, benarkah demikian? Apakah mungkin membayangkan dunia tanpa aktivitas pertambangan?
Impian tentang dunia tanpa tambang mungkin terdengar indah. Tidak ada lagi kerusakan lingkungan, tidak ada lagi eksploitasi sumber daya alam. Namun, realitasnya jauh berbeda. Kehidupan modern kita sangat bergantung pada mineral hasil tambang. Hampir 90% peralatan dan infrastruktur yang kita gunakan, mulai dari rumah hingga jalan raya, membutuhkan material dari pertambangan.
- Ketergantungan pada Mineral Tambang:
- Rumah tangga: Tembaga untuk kabel, silika untuk gelas dan layar ponsel, litium untuk baterai, mika untuk kosmetik dan insulasi, emas untuk perhiasan dan chip elektronik, aluminium untuk peralatan masak.
- Infrastruktur: Semen, baja, kabel tembaga.
- Transisi energi hijau: Nikel untuk mobil listrik, litium, aluminium, tembaga, dan perak untuk turbin angin dan panel surya.
Bahkan, transisi menuju energi hijau justru meningkatkan kebutuhan akan mineral tambang. Mobil listrik, turbin angin, dan panel surya membutuhkan berbagai jenis mineral seperti nikel, litium, aluminium, tembaga, dan perak. International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa untuk mencapai target emisi nol bersih, permintaan mineral penting akan meningkat 4-6 kali lipat.
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral, memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan global. Namun, mengeksploitasi sumber daya alam secara serampangan bukanlah pilihan yang bijak. Belajar dari negara-negara seperti Afghanistan, Kongo, Venezuela, dan Myanmar yang gagal mengelola kekayaan alamnya, Indonesia harus menerapkan tata kelola pertambangan yang kuat dan transparan.
Negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Norwegia menunjukkan bahwa sumber daya alam dapat dikelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat. Kunci keberhasilan mereka adalah penerapan royalti yang tinggi, sistem perhitungan yang jelas, dan pengelolaan yang berkelanjutan.
- Kontribusi Pertambangan bagi Indonesia:
- Pendapatan negara dari sektor ESDM tahun 2024: Rp269,6 triliun.
- Total investasi sektor ESDM tahun 2024: Rp529 triliun.
- Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB Indonesia tahun 2023: 10,5%.
Oleh karena itu, momentum dari isu pertambangan di Raja Ampat harus menjadi pengingat bahwa kebijakan pertambangan harus berpihak pada masyarakat sekitar. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan royalti nikel dan membentuk Dana Abadi Tambang.
Dana Abadi Tambang dapat dibentuk dari tambahan royalti yang dibebankan kepada perusahaan tambang. Dana ini dapat digunakan untuk cadangan fiskal jangka panjang, melindungi generasi mendatang, membiayai riset energi hijau, dan mendorong investasi energi terbarukan.
Pengawasan ketat terhadap tambang yang beroperasi juga sangat penting. Pertambangan harus memenuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG), dikelola secara transparan, memberikan manfaat bagi rakyat, dan melakukan reklamasi. Dengan demikian, pertambangan dapat menjadi sektor yang berkelanjutan dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan Indonesia.