PBSI Fokus Benahi Kualitas Latihan Atlet Bulutangkis di Tengah Sorotan Ketiadaan Psikolog
Kabar mengenai ketiadaan psikolog di Pelatihan Nasional (Pelatnas) bulutangkis mendapat tanggapan dari Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI, Eng Hian. Ia menegaskan bahwa PBSI sebenarnya telah menyiapkan psikolog sejak lama, namun fokus utama saat ini adalah peningkatan kualitas dan tujuan latihan para atlet.
Eng Hian menjelaskan bahwa permasalahan utama bukanlah ketersediaan psikolog, melainkan kualitas latihan yang belum memenuhi standar. Hal ini didasarkan pada evaluasi performa atlet yang menunjukkan masih adanya kesenjangan antara target yang ditetapkan pelatih dengan pencapaian di lapangan. Evaluasi ini muncul setelah melihat performa tim bulutangkis Indonesia yang kurang memuaskan dalam enam bulan terakhir.
"PBSI akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang diajukan oleh pelatih. Namun, setiap permintaan akan dievaluasi terlebih dahulu untuk memastikan keselarasan dengan tujuan yang ingin dicapai," ujar Eng Hian di Pelatnas PBSI, Cipayung, Jakarta Timur.
Eng Hian menyoroti pentingnya pembenahan mendasar dalam program latihan. Ia mencontohkan, banyak atlet yang kehilangan fokus dan performa di tengah pertandingan, bukan karena masalah psikologis, melainkan karena kondisi fisik yang belum mencapai standar yang ditetapkan.
"Atlet 'mati sendiri' karena kondisi fisik belum mencapai standar. Jika fisik tidak memadai, sulit bagi mereka untuk mempertahankan performa dalam durasi dan intensitas tinggi. Ini bukan semata-mata masalah psikologis, tapi lebih kepada akurasi dan kesiapan fisik," tegasnya.
Ia menambahkan, program latihan yang ada saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan individual atlet. Misalnya, atlet dengan akurasi yang kurang, tetapi tidak mendapatkan porsi latihan yang cukup untuk meningkatkan aspek tersebut. Akibatnya, performa di pertandingan pun tidak maksimal.
Peran Pelatih dalam Optimalisasi Tim Pendukung
Eng Hian menekankan bahwa PBSI telah menyiapkan psikolog, namun pelatih perlu berperan aktif dalam memaksimalkan potensi tim pendukung tersebut. Pelatih harus menyampaikan rencana program latihan secara detail dan menjelaskan bagaimana psikolog dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain, permintaan akan psikolog harus disertai dengan proyeksi yang jelas mengenai pemanfaatannya.
"Kami ingin pelatih menyampaikan program yang akan dijalankan dan bagaimana peran psikolog di dalamnya. Psikolog sudah siap, tinggal dipanggil. Namun, seringkali pelatih belum bisa menyampaikan program yang jelas," ungkapnya.
Ia membandingkan dengan permintaan untuk pelatih fisik, fisioterapis, masseur, dan ahli nutrisi, di mana pelatih selalu memberikan penjelasan rinci mengenai kebutuhan dan program yang akan dijalankan. Namun, ketika ditanya mengenai program untuk psikolog, jawaban yang sering diterima adalah "atlet sering 'ngeblank'" tanpa ada penjelasan lebih lanjut mengenai program yang spesifik.
"Tidak mungkin kami menyiapkan sesuatu tanpa mengetahui kebutuhannya. Realitasnya memang seperti itu," pungkas Eng Hian.