Rocky Gerung Soroti Hak Alam dalam Diskusi Lingkungan di Riau: 'Pohon pun Berhak ke Pengadilan'

Dalam sebuah diskusi publik yang membahas kerusakan lingkungan di Riau, filsuf Rocky Gerung mengangkat isu krusial mengenai hak-hak alam. Acara yang bertajuk 'Bakti Religi dan Peduli Lingkungan' ini diselenggarakan oleh Polda Riau di Pulau Tongah, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Bhayangkara ke-79.

Diskusi tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid, Wakapolda Riau Brigjen Jossy Kusumo, para bupati, akademisi, pemerhati lingkungan, anggota gerakan pramuka, hingga masyarakat setempat. Ustadz Abdul Somad (UAS) juga turut hadir sebagai pembicara.

Rocky Gerung memulai presentasinya dengan mengisahkan tentang seorang profesor hukum di Arizona pada tahun 1970-an, Christopher D. Stone, yang membela hak sebuah pohon di pengadilan. Kasus ini bermula ketika ada rencana penebangan hutan di Arizona untuk pembangunan taman rekreasi. Stone berpendapat bahwa pohon, layaknya manusia, memiliki hak untuk diwakili dan dilindungi di mata hukum.

"Kita ingat ada suatu peristiwa di tahun 70, ketika seorang profesor hukum di Arizona, diminta oleh sebatang pohon untuk menjadi lawyer dia di Arizona," ujar Rocky Gerung. Ia melanjutkan bahwa pohon tersebut seharusnya memiliki hak untuk memprotes penebangan yang akan dilakukan.

Argumentasi Stone didasarkan pada gagasan bahwa meskipun pohon tidak dapat berbicara atau berjalan ke pengadilan, hak-haknya tetap harus diakui. Ia menulis esai berjudul 'Should Trees Have Standing?' yang mempertanyakan apakah pohon memiliki hak untuk membela eksistensinya di pengadilan.

Esai ini memicu perdebatan luas, terutama karena pada saat itu hukum lingkungan belum berkembang dan paradigma antroposentris masih dominan. Dalam paradigma ini, hanya manusia yang dianggap sebagai subjek hukum. Namun, Stone berpendapat bahwa alam semesta memanggilnya untuk menyelamatkan pohon tersebut. Ia membuat analogi dengan anak lumpuh yang tidak bisa berbicara, tetapi tetap berhak atas warisan orang tuanya.

"Jadi sama seperti seorang anak atau seorang kawan keluarga yang cacat yang tidak mungkin mendalilkan pikirannya dia dibantu oleh LBH, atau Walhi, dibantu oleh polda untuk mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin dia ucapkan karena cacat fisik atau cacat ineteleknya," jelasnya.

Tulisan Christopher D. Stone membuka jalan bagi teori legal standing, yang memungkinkan masyarakat adat, organisasi lingkungan hidup, dan LSM untuk membela hak-hak lingkungan di pengadilan. Teori ini mengakui bahwa entitas alam seperti pohon, batu, dan bukit memiliki hak untuk dilindungi.

"Sekarang sudah biasa di dalam ilmu lingkungan, filsafat tentang lingkungan, hak pohon untuk tetap hijau, hak batu untuk tetap bulat. Hak bukit untuk hijau, itu yang membuat ilmu lingkungan itu mengerti bahwa subjek lingkungan itu bukan cuma orang, bahkan cacing, gajah, rumput, punya legal standing," pungkasnya.

Dengan demikian, Rocky Gerung menekankan pentingnya mengubah cara pandang kita terhadap alam dan mengakui hak-haknya sebagai bagian integral dari sistem hukum dan keadilan.