Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Perempuan: Kisah Sukses Petani Cabai Dayak di Tengah Bayang-Bayang Tambang

Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, transisi energi menjadi sebuah keharusan global. Namun, bagi wilayah-wilayah yang selama ini menggantungkan perekonomiannya pada industri batu bara, perubahan ini menghadirkan tantangan tersendiri. Kutai Timur, Kalimantan Timur, adalah salah satu contohnya.

Ketergantungan yang tinggi pada sektor pertambangan batu bara membuat masyarakat setempat rentan terhadap gejolak ekonomi jika industri ini meredup. Di tengah kekhawatiran tersebut, muncul secercah harapan dari Desa Tebangan Lembak, tempat para perempuan adat suku Dayak Basap berjuang menciptakan alternatif penghidupan yang berkelanjutan.

Menemukan Peluang di Pekarangan Rumah

Para perempuan Dayak Basap ini tidak menyerah pada keadaan. Mereka melihat potensi di pekarangan rumah mereka sendiri, mengubahnya menjadi kebun cabai yang produktif. Inisiatif ini bukan hanya sekadar mencari penghasilan tambahan, tetapi juga sebuah simbol perlawanan dan ketahanan di tengah perubahan zaman.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor pertambangan batu bara menyumbang hampir 40 persen dari perekonomian Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara menjadi wilayah yang paling bergantung pada sektor ini. Ironisnya, tingginya kontribusi sektor tambang tidak serta merta menjamin kesejahteraan masyarakat setempat. Pada tahun yang sama, Kutai Kertanegara dan Kutai Timur justru menempati peringkat teratas sebagai daerah termiskin di Kalimantan Timur.

Alih-alih sejahtera, banyak warga justru harus berhadapan dengan dampak negatif pertambangan, seperti kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian tradisional. Kondisi ini terutama dirasakan oleh kaum perempuan, yang seringkali terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dan kurang terlibat dalam sektor pertambangan.

Sejak hutan beralih fungsi menjadi area pertambangan, komunitas Dayak Basap kehilangan sumber kehidupan utama mereka. Para lelaki terpaksa menjadi buruh tambang, sementara para perempuan berupaya mencari cara lain untuk bertahan hidup, mulai dari mengajar, membuka usaha kecil, hingga bertani cabai.

Pertanian Cabai: Harapan di Tengah Krisis

Inisiatif menanam cabai di pekarangan rumah menjadi solusi alternatif yang menjanjikan. Cabai dipilih karena memiliki masa panen yang relatif singkat dan permintaan pasar yang tinggi, serta berkontribusi pada pengendalian inflasi lokal. Proyek percontohan ini merupakan hasil kolaborasi antara tim Just Transition Indonesia, Universitas Parahyangan, dan Energi Muda, sebuah LSM yang fokus pada isu transisi energi.

Masyarakat diajarkan cara menggabungkan teknik pertanian tradisional dengan metode permakultur modern, termasuk penggunaan kompos dan rotasi tanaman. Generasi muda juga dilibatkan sebagai penggerak untuk memperkuat komunitas dalam menghadapi transisi pasca-batu bara.

Hasilnya sangat menggembirakan. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian dari startup HARA, para perempuan Dayak Basap berhasil mengatasi masalah tanah asam dan air yang tercemar akibat aktivitas pertambangan. Bahkan, hasil panen mereka melampaui metode pertanian konvensional yang pernah diujicobakan sebelumnya.

Selain itu, mereka juga belajar memasarkan hasil panen langsung ke konsumen, seperti restoran dan produsen kerupuk, tanpa melalui perantara atau tengkulak. Hal ini meningkatkan posisi tawar mereka dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Kolaborasi antara kearifan lokal dan inovasi modern terbukti mampu meningkatkan kapasitas komunitas adat dan memberikan manfaat ekonomi nyata.

Tantangan dan Harapan di Masa Depan

Perjalanan para perempuan Dayak Basap ini tentu tidak selalu mulus. Lahan bekas tambang membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Tanah asam dan air yang tercemar logam berat menjadi tantangan tersendiri. Keterbatasan akses terhadap alat dan pupuk juga menjadi hambatan. Dalam beberapa kasus, masyarakat harus membeli bibit yang sudah tumbuh agar proses penanaman bisa lebih cepat.

Selain itu, transisi dari pola tanam berpindah ke sistem pengelolaan jangka panjang memerlukan pelatihan yang berkelanjutan. Adaptasi semacam ini memerlukan waktu dan pendampingan yang intensif.

Inisiatif para perempuan Dayak Basap ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya melibatkan masyarakat lokal, khususnya perempuan, dalam proses transisi energi. Pendekatan kolektif berbasis komunitas terbukti lebih berkelanjutan dibandingkan program top-down yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Dukungan kebijakan juga perlu diarahkan pada inisiatif akar rumput seperti ini, dengan fokus tidak hanya pada pencapaian target transisi, tetapi juga pada keadilan sosial dan ekologi.

Perjuangan para perempuan suku Dayak Basap membuktikan bahwa transisi energi yang adil dapat diwujudkan di wilayah yang bergantung pada batu bara. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada dukungan yang diberikan dan kemampuannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat serta dipimpin oleh komunitas lokal yang kuat.

Daftar Kata (Markdown List)

  • Transisi energi
  • Perempuan Dayak Basap
  • Pertambangan batu bara
  • Kutai Timur
  • Pertanian berkelanjutan
  • Pemberdayaan perempuan
  • Ketahanan pangan
  • Permakultur
  • Inovasi pertanian
  • Komunitas adat