Mangai Binu: Tradisi Berburu Kepala di Nias dan Maknanya dalam Sejarah Lokal
Mangai Binu: Tradisi Berburu Kepala di Nias dan Maknanya dalam Sejarah Lokal
Tradisi berburu kepala, praktik yang kerap dikaitkan dengan suku Dayak melalui istilah 'Ngayau', ternyata juga pernah ada di Kepulauan Nias. Praktik ini dikenal dengan sebutan Mangai Binu, sebuah tradisi yang sarat dengan ritual, kepercayaan, dan konteks sosial-politik masyarakat Nias di masa lalu. Istilah Mangai Binu sendiri secara harfiah berarti 'mengambil kepala manusia', dengan 'mangai' bermakna 'mengambil' dan 'binu' merujuk pada kepala manusia sebagai hasil buruan. Alternatif lain, Mangai Hogo, menggunakan 'hogo' sebagai pengganti 'binu', dengan arti yang sama.
Para pelaku Mangai Binu, yang dikenal sebagai 'emali' (berarti 'berteriak dalam ketakutan'), bukanlah sembarang individu. Mereka merupakan prajurit pilihan, yang telah memenuhi standar kelayakan tertentu, seperti yang diungkapkan oleh sumber dari Kemendikbud. Proses seleksi ini menunjukkan bahwa Mangai Binu bukan semata-mata aksi brutal, melainkan aktivitas yang terstruktur dan memiliki hierarki sosial. Bahkan, konon tradisi lompat batu di Nias berfungsi sebagai pelatihan fisik dan mental bagi para emali sebelum menjalankan misi berbahaya ini.
Teknik dan tujuan perburuan kepala dalam tradisi Mangai Binu pun beragam. Ada yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan ada pula yang diiringi deklarasi perang terbuka, mencerminkan budaya berperang yang pernah melekat kuat pada masyarakat Nias. Cara pemenggalan kepala pun memiliki standar tersendiri; binu yang ideal dipenggal secara diagonal dari pangkal leher kiri menuju ketiak kanan, memudahkan proses membawa pulang hasil buruan dan mempercepat pelarian emali dari amukan penduduk desa yang menjadi korban.
Kepala manusia yang berhasil diperoleh—binu—memiliki nilai sakral dan fungsional yang signifikan. Binu bukan sekadar trofi, tetapi berfungsi sebagai tumbal dalam berbagai ritual penting. Beberapa di antaranya adalah:
- Ritual pembangunan batu hombo (monolit).
- Peningkatan status sosial (owasa).
- Peningkatan kekuatan spiritual.
- Ritual pembangunan rumah.
- Sebagai 'budak' bagi si'ulu (raja) yang telah wafat, di mana tengkorak dipercaya menjadi pelayan di alam baka.
Sebelum memulai perburuan, emali akan memohon perlindungan dan restu kepada dewa agar diberi keberhasilan. Mereka dilengkapi dengan perlengkapan khusus, seperti ikat pinggang dari kulit buaya, hiasan kepala dari taring babi hutan, dan pedang tologu yang sarungnya dihiasi rago—bola rotan dengan benda-benda magis yang diyakini memberikan kekuatan dan kekebalan.
Para emali seringkali beroperasi berdasarkan pesanan, menjelajahi wilayah yang jauh untuk mencari mangsa. Musim perburuan biasanya berlangsung antara bulan Maret hingga April. Namun, penting dicatat bahwa praktik Mangai Binu telah ditinggalkan oleh masyarakat Nias seiring dengan masuknya agama Kristen ke Kepulauan Nias. Tradisi ini kini hanya menjadi bagian dari sejarah, menawarkan jendela penting untuk memahami kompleksitas budaya dan kepercayaan masyarakat Nias di masa lampau.