Fenomena Pengemis Tajir di Ponorogo: Jaringan Terorganisir dan Tantangan Era Digital
Fenomena Pengemis Tajir di Ponorogo: Jaringan Terorganisir dan Tantangan Era Digital
Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Ponorogo mengungkap praktik mengemis yang terorganisir dan menguntungkan secara finansial, bahkan mencapai jutaan rupiah per bulan. Penemuan ini berawal dari pesan berantai WhatsApp yang beredar di antara para pengemis, memperingatkan akan adanya razia yang dilakukan oleh pihak berwenang selama bulan Ramadan. Tiga pengemis yang diamankan memiliki lebih dari satu ponsel, salah satunya bahkan memiliki empat ponsel. Isi pesan tersebut terbukti efektif, karena setelah penangkapan, sejumlah titik biasanya menjadi lokasi mereka mengemis tampak sepi. Kepala Dinsos P3A Ponorogo, Supriyadi, menjelaskan bahwa para pengemis ini memiliki penghasilan yang sangat signifikan. Mereka mengaku mampu meraup pendapatan hingga Rp 6 juta hingga lebih dari Rp 12 juta per bulan.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan fakta mengejutkan. Saat petugas melakukan penggeledahan, ditemukan uang tunai yang cukup besar dalam tas dan dompet mereka. Hanya dalam kurun waktu dua setengah jam (antara pukul 09.00 hingga 11.30 WIB), mereka berhasil mengumpulkan uang lebih dari Rp 100.000 hingga Rp 400.000. Hal ini menunjukkan efisiensi dan tingkat keberhasilan yang tinggi dalam kegiatan mengemis mereka. Menariknya, uang yang mereka kumpulkan didominasi oleh pecahan Rp 5.000 dan Rp 10.000, minim uang receh. Kondisi ini menunjukkan adanya perencanaan dan strategi dalam menjalankan kegiatan ilegal tersebut.
Lebih mengejutkan lagi, para pengemis ini ternyata memiliki aset yang cukup bernilai. Dua dari tiga pengemis yang diamankan berasal dari Blitar dan Kabupaten Madiun, masing-masing memiliki sepeda motor. Seorang pengemis perempuan dari Madiun, yang bahkan mengajak anaknya yang berusia 2,5 tahun untuk mengemis, mengaku memiliki tiga sepeda motor. Bahkan, suaminya yang juga seorang pengemis, memiliki sepeda motor sendiri untuk berkeliling mengemis di berbagai kabupaten seperti Magetan dan Madiun. Anak mereka yang masih sekolah pun memiliki sepeda motor pribadi. Hal ini mengungkap adanya pola hidup yang relatif mapan, meskipun diperoleh melalui cara yang ilegal.
Meskipun telah beberapa kali ditangkap dan dibina (tiga hingga lima kali), dengan bimbingan usaha dan bantuan modal usaha yang ditawarkan, para pengemis ini tetap memilih untuk kembali mengemis. Salah satu pengemis perempuan asal Madiun mengaku pernah mencoba berjualan peyek, tetapi pendapatannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil mengemis. Yang lebih mengkhawatirkan, mereka adalah penerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah, namun tetap memilih mengemis karena lebih menguntungkan dan mudah. Salah satu pengemis dari Blitar bahkan secara terang-terangan menyatakan akan kembali mengemis setelah dibebaskan. Mereka telah membangun strategi dan mengidentifikasi Ponorogo sebagai lokasi yang menjanjikan karena warga dinilai lebih dermawan.
Seorang pengemis dari Blitar, sebut saja S, yang sudah satu tahun mengemis di Ponorogo, mengaku mendapatkan penghasilan minimal Rp 90.000 per hari. Ia membandingkan keberuntungannya dengan pengemis lain yang lebih sukses, seperti Broto, pengemis penyandang disabilitas dari Sragen. S mengaku akan kembali mengemis di daerah pinggiran Ponorogo untuk menghindari razia. Kondisi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas praktik mengemis yang terorganisir dan melibatkan jaringan yang cukup luas, serta didukung oleh strategi adaptasi terhadap penindakan yang dilakukan.
Dinsos P3A Ponorogo mengakui kesulitan dalam mengatasi masalah ini, dan mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis karena melanggar undang-undang ketertiban masyarakat. Mereka menyarankan untuk menyalurkan sedekah melalui lembaga zakat resmi. Namun, budaya dermawan masyarakat Ponorogo, terutama selama Ramadan, menjadi faktor pendorong keberhasilan para pengemis ini. Mereka memanfaatkan budaya tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Permasalahan ini bukan hanya persoalan kemiskinan individu, tetapi juga tentang strategi dan jaringan yang terorganisir, serta tantangan era digital yang memudahkan koordinasi dan penyebaran informasi di antara para pengemis.