Analisis Dampak Tarif AS terhadap Ekonomi Indonesia: Antara Resiko Terbatas dan Tantangan Pertumbuhan

Analisis Dampak Tarif AS terhadap Ekonomi Indonesia: Antara Resiko Terbatas dan Tantangan Pertumbuhan

Pengumuman rincian kebijakan tarif baru oleh Amerika Serikat (AS) yang mencakup berbagai negara, jenis barang, besaran tarif, dan tanggal efektifnya, telah memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Meskipun dampak langsung terhadap Indonesia dinilai terbatas, beberapa tantangan ekonomi tetap perlu diwaspadai. Seorang Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, memberikan analisis mendalam mengenai situasi ini.

Dimas menjelaskan bahwa indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan global sempat mencapai level tertinggi sejak perang tarif 2018. Namun, dengan adanya kejelasan kebijakan tarif AS saat ini, pasar diharapkan dapat melakukan evaluasi risiko dan peluang yang lebih akurat, sehingga mengurangi volatilitas. Tiga negara yang paling terdampak kebijakan tarif AS adalah China, Kanada, dan Meksiko. Namun, dampak terhadap China dinilai lebih terbatas dibandingkan tahun 2018, dikarenakan diversifikasi perdagangan China ke negara-negara berkembang yang signifikan. Ekspor China ke AS telah turun dari 20% pada 2016 menjadi 13% pada 2023, sementara ekspor ke negara berkembang meningkat dari 31% menjadi 41%.

Dampak Terbatas bagi Indonesia

Secara langsung, dampak tarif AS terhadap Indonesia relatif kecil. Meskipun AS mengenakan tarif 25 persen untuk baja asal Indonesia, ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya mencapai 199 juta dollar AS, atau 0,07 persen dari total ekspor Indonesia. Risiko tarif resiprokal juga dinilai terbatas, mengingat rata-rata tarif antara Indonesia dan AS saat ini sudah relatif seimbang di kisaran 4 persen.

Kebijakan Moneter dan Tantangan Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan moneter global dan domestik juga turut mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. The Federal Reserve (The Fed) telah menurunkan suku bunga acuannya pada Desember, diikuti oleh Bank Indonesia (BI) yang memangkas BI Rate pada Januari. Namun, saat ini kedua bank sentral tersebut lebih berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya. The Fed mempertimbangkan faktor inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja, sementara BI menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan dengan mempertahankan BI Rate di 5,75 persen. BI juga melonggarkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dengan mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM) hingga 5 persen untuk sektor prioritas.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap menjadi perhatian utama di tengah ketidakpastian global. Konsumsi domestik masih lemah, berkontribusi sekitar 54 persen terhadap PDB, lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi (55-58 persen). Pemerintah berupaya menopang pertumbuhan melalui berbagai kebijakan, seperti program MBG, kenaikan UMR, dan pembatalan kenaikan PPN. Namun, investasi tetap menjadi kunci pertumbuhan jangka panjang. Target Bappenas untuk pertumbuhan investasi sebesar 8 persen dalam PDB diperlukan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Pembentukan Danantara diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan aset dan investasi negara, meskipun transparansi pengelolaannya masih dinantikan pasar.

Pasar Saham dan Obligasi: Perbedaan Performa

Pasar saham Indonesia masih tertekan akibat ketidakpastian global dan aksi jual investor asing. Penguatan dolar AS, kondisi geopolitik, dan kinerja emiten yang di bawah ekspektasi menjadi faktor penyebabnya. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas dinilai krusial untuk pemulihan sentimen pasar saham. Sebaliknya, pasar obligasi menunjukkan ketahanan yang lebih baik, dengan investor asing mulai melirik obligasi Indonesia. Hal ini didorong oleh sinyal BI tentang kemungkinan pemangkasan suku bunga dan daya tarik imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dibandingkan Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI).

Meskipun demikian, Dimas mengingatkan bahwa dinamika pasar global masih tinggi dan sentimen investor terhadap kebijakan domestik dapat mempengaruhi pergerakan pasar. Ia menyarankan investor untuk memiliki portofolio yang terdiversifikasi untuk menangkap peluang di tengah ketidakpastian pasar. Kejelasan kebijakan dan transparansi pengelolaan aset negara menjadi kunci untuk meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.