Insentif untuk Pelestarian Budaya Bali: Gubernur Koster Dorong Peningkatan Kelahiran dan Pertahankan Nama Tradisional

Insentif untuk Pelestarian Budaya Bali: Gubernur Koster Dorong Peningkatan Kelahiran dan Pertahankan Nama Tradisional

Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam pidato perdananya di sidang paripurna DPRD Bali pada Selasa (4/3/2025), kembali mengusulkan program insentif bagi ibu-ibu yang melahirkan anak keempat. Inisiatif ini, menurut Koster, merupakan upaya strategis untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di Bali dan sekaligus melestarikan tradisi penamaan anak berdasarkan urutan kelahiran, khususnya nama Nyoman dan Ketut yang dinilai semakin langka. Angka pertumbuhan penduduk Bali yang hanya mencapai 0,66 persen per tahun, jauh di bawah angka nasional 1,04 persen, menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah. Koster menekankan bahwa penurunan angka kelahiran ini berpotensi mengikis akar budaya Bali yang kaya.

Koster mengungkapkan kekhawatirannya bahwa nama-nama tradisional seperti Nyoman dan Ketut, yang secara tradisional diberikan kepada anak ketiga dan keempat, akan punah jika tren ini berlanjut. Ia bahkan berkelakar bahwa Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketut Sumedana, bisa menjadi orang terakhir yang menyandang nama Ketut jika tidak ada upaya konkret untuk membalikkan tren ini. "Ini bukan hanya soal angka," tegas Koster, "ini tentang mempertahankan identitas dan warisan budaya kita." Program insentif ini, yang sebelumnya juga diusulkan pada periode kepemimpinan sebelumnya (2018-2023), diharapkan dapat memberikan insentif finansial bagi keluarga yang bersedia memiliki lebih dari dua anak, mendorong peningkatan angka kelahiran, sekaligus menghidupkan kembali tradisi penamaan anak di Bali.

Data yang dipaparkan menunjukkan penurunan signifikan penggunaan nama Nyoman dan Ketut. Dari total 595.931 siswa tingkat SD hingga SMA di Bali pada tahun 2022, hanya 109.198 siswa (18 persen) yang menggunakan nama Komang atau Nyoman (anak ketiga) dan 37.389 siswa (6 persen) yang menggunakan nama Ketut (anak keempat). Bandingkan dengan jumlah siswa yang menggunakan nama Putu/Wayan (anak pertama) sebanyak 233.013 (39 persen) dan Made/Kadek/Nengah (anak kedua) sebanyak 215.731 (36 persen). Data ini memperkuat argumen Koster tentang perlunya intervensi untuk menjaga keberlangsungan tradisi penamaan anak di Bali. Pemerintah Provinsi Bali berencana untuk merinci besaran insentif dan mekanisme pencairannya dalam waktu dekat.

Lebih lanjut, Koster juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian budaya. Ia percaya bahwa pelestarian budaya Bali tidak hanya penting secara intrinsik, tetapi juga berperan sebagai daya tarik pariwisata yang berkelanjutan. Program insentif ini dilihat sebagai langkah proaktif dalam menjaga kelangsungan budaya Bali untuk generasi mendatang, sekaligus sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan angka pertumbuhan penduduk di daerah tersebut. Pemprov Bali saat ini sedang menyusun rencana detail mengenai implementasi program insentif ini, termasuk kriteria penerima dan besaran dana yang akan diberikan.

Langkah Koster ini telah memicu berbagai diskusi di kalangan masyarakat Bali. Ada yang mendukung program ini sebagai upaya pelestarian budaya, sementara ada juga yang mempertanyakan efektifitas program ini dalam konteks yang lebih luas, seperti akses pendidikan dan kesehatan bagi keluarga di Bali. Kendati demikian, inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana sebuah pemerintah daerah berupaya untuk mengintegrasikan program pembangunan dengan upaya pelestarian budaya.