Ketiadaan Sanksi Tertulis dalam SE THR 2025: Imbauan Kekeluargaan vs. Regulasi yang Jelas

Ketiadaan Sanksi Tertulis dalam SE THR 2025: Imbauan Kekeluargaan vs. Regulasi yang Jelas

Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI Nomor M/2/HK.04.00/III/2025 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2025, yang diterbitkan pada Maret 2025, menimbulkan pertanyaan terkait ketiadaan sanksi eksplisit bagi perusahaan yang gagal membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawannya. Meskipun SE tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, ketidakjelasan mengenai sanksi dalam SE terbaru ini memicu kekhawatiran dan menimbulkan polemik. Menaker Yassierli, dalam keterangannya, menekankan aspek 'kekeluargaan' dan 'semangat kebersamaan' sebagai landasan penerbitan SE tersebut, alih-alih fokus pada mekanisme penegakan hukum yang tegas.

Penjelasan Menaker tersebut menuai beragam reaksi. Di satu sisi, pendekatan kekeluargaan dianggap kurang efektif dalam menjamin kepatuhan perusahaan dalam membayar THR tepat waktu dan sesuai ketentuan. Di sisi lain, penekanan pada aspek kolaboratif dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun hubungan industrial yang harmonis. Namun, kejelasan regulasi dan mekanisme penegakan hukum yang tegas tetap krusial untuk melindungi hak-hak pekerja. Ketiadaan sanksi tertulis dalam SE tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pemerintah akan memastikan perusahaan patuh pada kewajiban membayar THR. Apakah pendekatan persuasif ini cukup efektif untuk mengatasi potensi pelanggaran?

Lebih lanjut, SE tersebut mengatur kewajiban pembayaran THR paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan dan menekankan pembayaran penuh tanpa pencicilan. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Peraturan tersebut menetapkan sanksi denda 5 persen dari total THR yang harus dibayar bagi perusahaan yang terlambat, serta sanksi administratif bagi perusahaan yang sama sekali tidak membayarkan THR. Namun, perlu ditegaskan kembali bahwa sanksi-sanksi tersebut tercantum dalam peraturan yang lebih lama, dan bukan dalam SE terbaru yang menjadi fokus perbincangan.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah membentuk Posko THR di berbagai daerah sebagai upaya untuk memberikan konsultasi dan penegakan hukum terkait pembayaran THR. Langkah ini diharapkan dapat membantu pekerja yang mengalami kendala dalam proses pembayaran THR. Namun, keberadaan Posko THR tidak serta merta menghilangkan kebutuhan akan kejelasan sanksi dalam SE yang lebih baru dan komprehensif. Ketidakjelasan ini menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana mekanisme penegakan hukum akan berjalan secara efektif jika tidak ada sanksi yang secara eksplisit tertera dalam SE terbaru.

Sampai berita ini diturunkan, upaya Kompas.com untuk memperoleh klarifikasi lebih lanjut dari Kemnaker mengenai mekanisme sanksi bagi perusahaan yang tidak membayar THR masih belum membuahkan hasil. Kejelasan informasi mengenai hal ini sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja dan mencegah potensi konflik industrial di masa mendatang. Perlu adanya transparansi dan komunikasi yang efektif dari pemerintah untuk menjawab pertanyaan publik terkait dengan isu krusial ini.

Kesimpulan: Ketiadaan sanksi yang tercantum secara eksplisit dalam SE terbaru tentang THR menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak pekerja. Meskipun terdapat peraturan yang mengatur sanksi, kejelasan dan konsistensi regulasi menjadi krusial dalam menjamin kepatuhan perusahaan. Pentingnya keseimbangan antara pendekatan kekeluargaan dan penegakan hukum yang tegas perlu dipertimbangkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan berkelanjutan.