Kebijakan Pajak Baru Sebabkan Kelebihan Pemotongan PPh 21 Sebesar Rp16,5 Triliun

Kebijakan Pajak Baru Picu Kelebihan Pemotongan PPh 21 Sebesar Rp16,5 Triliun

Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 tentang penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) 21 menggunakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) berdampak signifikan pada penerimaan negara. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan adanya kelebihan pemotongan PPh 21 yang mencapai angka Rp16,5 triliun sepanjang tahun 2024. Hal ini berimbas pada penurunan realisasi penerimaan PPh 21 pada Januari-Februari 2025, meskipun secara fundamental, penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menjelaskan dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025), bahwa penurunan penerimaan PPh 21 pada periode Januari-Februari 2025 sebesar 39,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp 26,3 triliun vs Rp 43,5 triliun) merupakan dampak langsung dari kelebihan pemotongan tersebut. Angka tersebut, menurutnya, merupakan selisih antara penerimaan seharusnya dengan realisasi penerimaan yang terdampak kebijakan TER. Jika kelebihan pemotongan tersebut tidak terjadi, maka rata-rata penerimaan PPh 21 pada Desember 2024 hingga Februari 2025 akan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.

Lebih lanjut, Anggito menekankan bahwa kelebihan pemotongan ini merupakan konsekuensi dari penerapan metode TER dalam perhitungan PPh 21. Metode ini, yang mulai berlaku sejak Januari 2024, menggunakan tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan pensiunan (kecuali masa pajak terakhir), serta tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap. Sistem ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perhitungan pajak, namun ternyata menimbulkan dampak yang tidak terduga berupa kelebihan pemotongan yang signifikan.

Berdasarkan PMK tersebut, kelebihan pemotongan PPh 21 yang dihitung menggunakan tarif efektif bulanan pada masa pajak selain masa pajak terakhir harus dikembalikan oleh pemberi kerja kepada pegawai bersangkutan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sementara itu, bagi pemberi kerja yang kelebihan menyetorkan PPh 21, kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Mekanisme pengembalian dan kompensasi ini diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif dari kelebihan pemotongan dan memastikan keadilan bagi wajib pajak.

Pemerintah saat ini tengah mengevaluasi dampak kebijakan ini dan sedang mempertimbangkan langkah-langkah untuk mengoptimalkan penerapan PMK Nomor 168 Tahun 2023 ke depannya. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan antara penyederhanaan proses perhitungan pajak dengan optimalisasi penerimaan negara. Evaluasi ini mencakup kajian mendalam terhadap mekanisme pengembalian kelebihan pemotongan dan efektivitas sistem kompensasi melalui SPT Masa, untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Kesimpulannya, kebijakan baru terkait penghitungan PPh 21, meskipun dimaksudkan untuk mempermudah proses perpajakan, telah menimbulkan tantangan berupa kelebihan pemotongan yang signifikan. Pemerintah saat ini fokus pada upaya mitigasi dan perbaikan sistem agar dapat memastikan penerimaan pajak optimal dan keadilan bagi para wajib pajak.