Indonesia Airlines: Sebuah Analisis Mengenai Rencana Operasional dan Implikasinya
Indonesia Airlines: Sebuah Analisis Mengenai Rencana Operasional dan Implikasinya
Kemunculan rencana operasional maskapai penerbangan bernama Indonesia Airlines (IA) telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi di tengah kondisi perekonomian global dan nasional yang menantang. Rencana ini menarik perhatian mengingat sektor penerbangan nasional tengah mengalami tekanan, dan munculnya IA menimbulkan kekhawatiran sekaligus harapan di kalangan pelaku industri dan masyarakat luas.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, termasuk diskusi dengan pejabat Kementerian Perhubungan dan pelaku industri penerbangan, IA diduga kuat didirikan oleh investor Indonesia yang berbasis di Singapura. Hal ini menimbulkan kebingungan, mengingat nama maskapai tersebut bernuansa nasional, namun kemungkinan besar terdaftar di Singapura dengan kode registrasi 9V, bukan di Indonesia (kode PK). Rencana operasional IA dari Bandara Soekarno-Hatta (CGK) semakin memperkuat kebingungan ini, terutama mengingat kompleksitas regulasi penerbangan dan dampaknya terhadap maskapai domestik.
Perizinan dan Regulasi:
Salah satu aspek krusial yang perlu dikaji adalah status perizinan IA. Hingga saat ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (DJPU) belum menerima pengajuan perizinan operasional dari maskapai tersebut. Untuk beroperasi secara legal di Indonesia, IA wajib memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No. 35 Tahun 2021 dan PM Perhubungan No. 33 Tahun 2022, termasuk kepemilikan Sertifikat Standar Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Air Operator Certificate (AOC). Kegagalan memenuhi persyaratan ini dapat menghambat operasional IA di Indonesia.
Lebih lanjut, rencana operasional IA dari CGK menuju rute internasional menimbulkan pertanyaan mengenai hak angkut (Right). Jika IA terdaftar di Singapura, maka untuk beroperasi di Indonesia dan menuju destinasi internasional, IA memerlukan Right 7, yaitu hak operasi penuh di negara lain. Namun, hingga saat ini, ASEAN baru mencapai Right 5. Penggunaan Right 3, 4, atau 5 mungkin menjadi opsi, namun hal ini akan membatasi jangkauan operasional dan daya saing IA.
Implikasi terhadap Industri Penerbangan Domestik:
Munculnya IA juga menimbulkan kekhawatiran terhadap industri penerbangan domestik yang telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk intervensi pemerintah dalam penetapan tarif dan pajak. Pertanyaan mengenai kepemilikan saham, dampak bisnis terhadap maskapai domestik, dan potensi pelanggaran cabotage perlu dikaji secara mendalam untuk memastikan keadilan usaha di sektor ini.
Harapan masyarakat akan tiket penerbangan murah dari IA juga perlu dipertimbangkan secara realistis. Era Low Cost Carrier (LCC) yang murah semakin sulit di tengah kondisi global saat ini, di mana harga suku cadang, avtur, dan biaya operasional lainnya terus meningkat. Nilai tukar rupiah yang terus merosot juga menjadi tantangan tambahan.
Kesimpulan:
Kehadiran IA masih penuh tanda tanya. Kejelasan status perizinan, strategi operasional, dan implikasi terhadap industri penerbangan domestik masih perlu dikaji secara menyeluruh. Masyarakat diharapkan untuk tidak terlalu berharap akan munculnya maskapai dengan harga tiket murah, mengingat berbagai tantangan ekonomi dan regulasi yang ada. Pemerintah perlu memastikan agar seluruh proses perizinan dan operasional IA berlangsung transparan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta melindungi kepentingan industri penerbangan nasional.