Nasib RUU Masyarakat Adat: Antara Pengakuan Hukum dan Tekanan Politik
Nasib RUU Masyarakat Adat: Antara Pengakuan Hukum dan Tekanan Politik
Perjuangan panjang masyarakat adat Indonesia untuk memperoleh pengakuan hukum atas hak-hak mereka kembali diuji dengan proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Selama bertahun-tahun, RUU ini menjadi simbol janji politik yang tak kunjung terwujud, terombang-ambing di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi dan dinamika politik. Masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, yang menjaga tradisi dan kearifan lokal turun-temurun, masih menghadapi ketidakpastian hukum yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Mereka menantikan kepastian hukum yang melindungi tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka dari ancaman eksploitasi dan perampasan.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sepanjang masih eksis dan selaras dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI” ini telah menjadi celah interpretasi yang memungkinkan penundaan dan pengabaian hak-hak masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat, yang pertama kali masuk Prolegnas pada 2013, seharusnya menjadi instrumen hukum yang memberikan kepastian dan perlindungan tersebut. Namun, perjalanan RUU ini penuh liku dan diwarnai oleh perdebatan alot yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, DPR, serta berbagai kelompok kepentingan.
Beberapa regulasi sektoral, seperti UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah menyinggung keberadaan masyarakat adat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan bagian dari hutan negara, juga menjadi tonggak penting. Namun, regulasi-regulasi tersebut terbukti belum cukup untuk melindungi masyarakat adat dari berbagai konflik agraria yang terus terjadi. Perampasan tanah, penggusuran, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung, justru seringkali menjadi alat legitimasi bagi pencabutan hak-hak masyarakat adat.
RUU Masyarakat Adat yang saat ini dibahas bertujuan untuk mengatasi kebuntuan ini dengan mengatur mekanisme pengakuan, perlindungan, serta hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, dan budaya. Tantangan utamanya terletak pada seberapa besar komitmen negara untuk melepaskan kontrol atas tanah adat dan mengakui hak-hak masyarakat adat secara penuh. Konflik kepentingan ekonomi, terutama yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat, menjadi faktor penghambat utama pengesahan RUU ini. Wilayah adat yang kaya akan sumber daya seperti minyak, batu bara, emas, dan sawit menjadi incaran korporasi, sehingga pengakuan hak-hak masyarakat adat berpotensi mengganggu kepentingan ekonomi besar.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat lebih dari 687 konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dalam satu dekade terakhir, mencakup lahan seluas lebih dari 11 juta hektare. Dalam banyak kasus, negara cenderung berpihak kepada korporasi, dan aparat penegak hukum seringkali bertindak sebagai eksekutor kepentingan investasi, bukan sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Masyarakat adat yang memperjuangkan hak-hak mereka seringkali dituduh menghambat pembangunan, sementara korporasi yang merusak lingkungan dan merampas tanah diberikan izin operasional. Situasi ini memperlihatkan ketidakadilan sistemik yang harus segera diatasi.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya soal teknis legislasi, tetapi juga merupakan cerminan keberpihakan politik negara terhadap keadilan sosial. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apakah pengesahan RUU ini didasarkan pada komitmen nyata untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atau hanya sebagai upaya meredam tekanan politik dari kelompok masyarakat sipil. Jika RUU ini disahkan dalam versi yang dikompromikan, dengan pasal-pasal yang melemahkan perlindungan terhadap masyarakat adat, maka hal itu menunjukkan kegagalan negara dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak konstitusional warganya. Masyarakat adat menunggu kepastian hukum yang nyata, bukan janji-janji politik yang hampa.