PT Tun Sewindu Diduga Okupasi Hutan Lindung Deli Serdang: Sengketa Lahan dan Izin Menuai Polemik

PT Tun Sewindu Diduga Okupasi Hutan Lindung Deli Serdang: Sengketa Lahan dan Izin Menuai Polemik

Polemik pemagaran lahan di Desa Ragemuk, Deli Serdang, yang dilakukan PT Tun Sewindu memasuki babak baru. Ombudsman Sumatera Utara (Sumut) telah turun tangan menyelidiki dugaan okupasi kawasan hutan lindung oleh perusahaan tersebut. Hasil investigasi awal menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara klaim kepemilikan lahan PT Tun Sewindu dan regulasi yang berlaku. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Deli Serdang secara tegas menyatakan bahwa PT Tun Sewindu tidak memiliki izin pemagaran maupun izin usaha tambak udang di area tersebut. Kepala Bidang Pengaduan, Kebijakan, dan Pelaporan Pelayanan DPMPTSP Deli Serdang, Ali Al Rusdi Ginting, menegaskan bahwa dalam sistem mereka, tidak tercatat satupun izin yang dikeluarkan atas nama perusahaan tersebut. Pernyataan ini membantah klaim PT Tun Sewindu yang menyatakan memiliki hak atas lahan tersebut.

Konfirmasi serupa juga disampaikan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumatera Utara. Kepala Dinas, Yuliani Siregar, mengungkapkan bahwa dari total 48 hektar lahan yang dikuasai PT Tun Sewindu, seluas 11,7 hektar masuk dalam kawasan hutan lindung. Temuan ini berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan dan verifikasi titik koordinat. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Tun Sewindu. Sementara itu, Kantor Pertanahan Deli Serdang menyatakan bahwa PT Tun Sewindu memang memiliki empat sertifikat Hak Milik (SHM) seluas 72.953 meter persegi, namun seluruhnya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), bukan kawasan hutan lindung. Perbedaan data kepemilikan lahan ini menjadi poin penting dalam sengketa tersebut dan membutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan keabsahan setiap klaim.

Sengketa ini bermula dari aksi protes warga Desa Ragemuk terhadap pemagaran yang dilakukan PT Tun Sewindu sejak Januari 2025. Aksi protes tersebut bahkan berujung pada pembongkaran pagar oleh Yuliani Siregar bersama warga pada 23 Februari 2025. Langkah tersebut diklaim sebagai penegakan hukum karena kawasan yang dipagar merupakan hutan lindung, milik negara. Namun, tindakan ini memicu laporan balik dari PT Tun Sewindu kepada pihak kepolisian, dengan Junirwan Kurnia, kuasa hukum perusahaan, melaporkan Yuliani Siregar atas dugaan pembongkaran ilegal. PT Tun Sewindu mengklaim bahwa pagar tersebut telah berdiri sejak 1988 dan lahan telah dimiliki sejak 1982 melalui proses ganti rugi. Meskipun demikian, perusahaan baru menyadari sekitar 12 persen lahannya masuk dalam kawasan hutan lindung pada tahun 2022.

Saat ini, PT Tun Sewindu tengah mengajukan permohonan agar lahan tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan lindung dan perizinannya diselesaikan. Ombudsman Sumut, melalui Kepala Ombudsman Herdensi, menyatakan akan melakukan penyelidikan lapangan bersama DPRD Deli Serdang dan instansi terkait untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum dalam kasus ini. Ombudsman berharap semua pihak dapat menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum dan administrasi agar tidak berlarut-larut dan berdampak negatif pada ekosistem laut. Proses hukum yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang dan melindungi kelestarian lingkungan.

Berikut poin penting dalam kasus ini:

  • PT Tun Sewindu diduga melakukan pemagaran dan okupasi lahan di kawasan hutan lindung Deli Serdang tanpa izin.
  • DPMPTSP dan LHK Sumut menyatakan tidak adanya izin usaha dan pemagaran atas nama PT Tun Sewindu.
  • Terdapat perbedaan data kepemilikan lahan antara klaim PT Tun Sewindu dan data resmi pemerintah.
  • Pembongkaran pagar oleh Dinas LHK Sumut memicu laporan balik dari PT Tun Sewindu ke pihak kepolisian.
  • Ombudsman Sumut akan melakukan penyelidikan lapangan bersama instansi terkait.