Deflasi Dua Bulan Berturut-turut: Sinyal Lemahnya Daya Beli Masyarakat Indonesia

Deflasi Dua Bulan Berturut-turut: Sinyal Lemahnya Daya Beli Masyarakat Indonesia

Indonesia kembali mencatatkan deflasi selama dua bulan berturut-turut pada Januari dan Februari 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka deflasi bulanan sebesar 0,76 persen pada Januari dan 0,48 persen pada Februari. Lebih mengejutkan lagi, deflasi tahunan pada Februari mencapai 0,09 persen, sebuah fenomena yang belum pernah terjadi dalam 25 tahun terakhir. Kondisi ini memicu kekhawatiran para ekonom mengenai daya beli masyarakat yang masih lesu dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan.

Para ahli ekonomi memberikan berbagai perspektif terkait fenomena deflasi ini. Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, mengaitkan deflasi dengan kombinasi faktor, termasuk pemotongan harga listrik sebesar 50 persen, pasokan bahan pangan yang stabil, dan yang paling signifikan, penurunan daya beli masyarakat. Ia menekankan bahwa daya beli yang rendah ini merupakan dampak dari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor, terutama manufaktur dan ritel, di awal tahun 2025. Contohnya adalah PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang mencapai lebih dari 10.000 karyawan, serta PHK di sejumlah perusahaan besar lainnya seperti Sanken Indonesia dan Yamaha Music. Kondisi ini, menurut Samirin, secara langsung berkontribusi pada melemahnya daya beli dan permintaan domestik.

Pendapat senada disampaikan oleh Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE). Ia menilai deflasi Februari sebagai fenomena yang tidak lazim, mengingat bulan tersebut mendekati bulan Ramadhan, di mana biasanya terjadi peningkatan konsumsi masyarakat. Data BPS menunjukkan bahwa komponen harga pangan bergejolak (volatile food) justru mengalami deflasi sebesar 0,93 persen pada Februari, dengan komoditas seperti daging ayam ras, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, tomat, dan telur ayam ras menjadi penyumbang utama deflasi. Hal ini kontras dengan kondisi pada bulan Januari di mana beberapa komoditas tersebut mengalami inflasi. Faisal menegaskan bahwa deflasi tersebut lebih disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat dibandingkan peningkatan pasokan atau produksi, karena musim panen di beberapa daerah baru dimulai pada bulan tersebut.

Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menambahkan bahwa daya beli masyarakat telah tertekan sejak tahun 2024 akibat kenaikan harga bahan pokok dan tingginya angka PHK. Ia mencatat angka PHK sepanjang 2024 mencapai 77.965 kasus dan berlanjut hingga awal 2025 dengan tambahan 4.050 kasus. Ia mengamati bahwa deflasi dua bulan berturut-turut ini mencerminkan lemahnya permintaan domestik. Meskipun demikian, ia tetap optimistis bahwa konsumsi masyarakat akan meningkat secara musiman selama Ramadhan 2025, diproyeksikan mencapai Rp 1.188 triliun, meskipun pertumbuhannya diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kesimpulannya, deflasi yang terjadi di Indonesia bukanlah sekadar penurunan harga, tetapi merupakan indikator yang memprihatinkan terkait melemahnya daya beli masyarakat. Gelombang PHK massal dan dampaknya terhadap konsumsi domestik menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat guna mengatasi masalah ini dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap deflasi:

  • Pemotongan harga listrik 50 persen
  • Pasokan bahan pangan stabil
  • Penurunan daya beli masyarakat akibat PHK massal
  • Lemahnya permintaan domestik