Upaya Loloskan Harun Masiku: Surat Menyurat dan Upaya Hukum Sekjen PDIP hingga Penyuapan

Upaya Loloskan Harun Masiku: Surat Menyurat dan Upaya Hukum Sekjen PDIP hingga Penyuapan

Sidang tindak pidana korupsi yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengungkap serangkaian upaya yang dilakukan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK memaparkan kronologi yang melibatkan surat-menyurat, gugatan hukum, hingga praktik penyuapan. Kasus ini bermula dari kegagalan Harun Masiku, caleg PDI Perjuangan Dapil Sumatera Selatan I, untuk meraih kursi DPR setelah Pemilihan Legislatif 2019. Ia hanya menduduki peringkat keenam perolehan suara dengan 5.878 suara.

Meskipun secara aturan peluangnya tertutup, Hasto Kristiyanto, melalui tim hukum PDI Perjuangan yang dipimpin Dony Tri Istiqomah, berupaya mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan tersebut bertujuan untuk menguji materiil Pasal 54 ayat (5) huruf k Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. MA mengabulkan gugatan PDI Perjuangan yang berimplikasi pada kewenangan partai politik dalam menentukan calon pengganti caleg yang meninggal dunia. Dalam Dapil Sumsel I, Nazarudin Kiemas, caleg PDI Perjuangan dengan perolehan suara terbanyak, meninggal dunia, sehingga suaranya harus dialihkan. Hasto kemudian memutuskan dalam rapat pleno partai untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.

Keputusan pleno tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 5 Agustus 2019. Namun, KPU menolak permohonan PDI Perjuangan pada 26 Agustus 2019 dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penolakan ini tidak menyurutkan langkah Hasto. Dony Tri Istiqomah kemudian menemui mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, pada 31 Agustus 2019. Dalam pertemuan tersebut, Hasto melalui Dony menyampaikan permohonan agar KPU mengakomodasi permintaan tersebut. Rapat pleno penetapan kursi dan calon terpilih pada tanggal yang sama tetap memutuskan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih untuk Dapil Sumsel I.

Ketidaksetujuan atas keputusan KPU tersebut berlanjut dengan permohonan fatwa ke MA pada 13 September 2019 yang ditandatangani Hasto dan Ketua DPP PDI Perjuangan, Yasonna Laoly. Upaya selanjutnya melibatkan Saeful Bahri dan Dony Tri Istiqomah yang menghubungi mantan Anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina. Mereka meminta Agustiani untuk berkomunikasi dengan Wahyu Setiawan untuk membantu meloloskan Harun Masiku. Serangkaian komunikasi yang terjadi antara Desember 2019 melibatkan permintaan uang sebesar Rp 1 miliar dari Wahyu Setiawan yang disetujui oleh Hasto.

Jaksa KPK menjerat Hasto Kristiyanto dengan pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP terkait keterlibatannya dalam penyuapan Wahyu Setiawan. Kasus ini menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan, mulai dari jalur resmi melalui surat dan gugatan hukum hingga jalur tidak resmi berupa penyuapan, untuk mempengaruhi proses penetapan anggota DPR terpilih.

Berikut poin penting dari kronologi kasus:

  • Permohonan PDI Perjuangan untuk meloloskan Harun Masiku.
  • Gugatan ke MA dan upaya hukum lainnya.
  • Penolakan KPU terhadap permohonan PDI Perjuangan.
  • Pertemuan dengan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
  • Permintaan dan pemberian uang suap untuk meloloskan Harun Masiku.
  • Peran Hasto Kristiyanto dalam keseluruhan proses.
  • Penetapan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih.

Kasus ini menyoroti celah hukum dan potensi manipulasi dalam proses penetapan anggota legislatif dan menunjukkan betapa pentingnya integritas dan kepatuhan pada aturan dalam penyelenggaraan pemilu.