Perjuangan Hamka: Hidup Berdampingan dengan Epilepsi Selama 14 Tahun

Perjuangan Hamka: Hidup Berdampingan dengan Epilepsi Selama 14 Tahun

Muhammad Hamka (30), warga Desa Brakas, Kecamatan Pulau Raas, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, telah berjuang melawan epilepsi selama 14 tahun. Perjalanan panjangnya dimulai sejak duduk di bangku SMP, saat serangan epilepsi pertamanya terjadi, menandai awal dari pergumulan yang mengubah hidupnya. Kejang-kejang dan kehilangan kesadaran menjadi bagian rutin dalam kehidupannya, mengakibatkan rasa minder dan pertanyaan yang tak terjawab tentang kapan penyakit ini akan sembuh.

Masa-masa awal diwarnai oleh isolasi sosial. Sikap teman-teman dan keluarga yang berbeda membuatnya semakin merasa terasing. Kejadian epilepsi yang kambuh setiap minggu membuat Hamka bertanya-tanya pada dirinya sendiri, teman, dan keluarga, kapan penyakit ini akan berakhir. Namun, jawaban yang didapatnya selalu hampa. Puncaknya adalah beberapa insiden yang mengancam nyawanya. Beberapa kali ia jatuh ke laut karena serangan epilepsi yang tiba-tiba, mengingat rumahnya berbatasan langsung dengan laut. Luka robek di bibir yang memerlukan jahitan di Puskesmas Raas akibat serangan saat berjalan-jalan di dermaga juga menjadi bagian dari pengalaman traumatis tersebut. Bahkan, saat sedang makan di dapur pun, ia pernah mengalami serangan yang membuatnya tak sadarkan diri.

Perubahan Perspektif dan Perjuangan Hidup:

Setelah bertahun-tahun bergelut dengan penyakitnya, Hamka akhirnya memutuskan untuk “berdamai” dengan epilepsi. Ia mengubah pola pikirnya, memandang penyakit ini bukan sebagai cobaan, melainkan sebagai pengingat akan kasih sayang Tuhan. Perubahan ini memberinya kekuatan untuk menjalani hidup dengan lebih berani. Ia mulai melakukan aktivitas yang sebelumnya dihindarinya, seperti perjalanan jauh dengan sepeda motor sendirian. Perubahan perspektif ini menjadi titik balik dalam perjalanannya.

Karier dan Tantangan:

Setelah lulus SMA, Hamka mencoba peruntungan di Bali sebagai penjaga toko modern. Namun, serangan epilepsi memaksanya untuk kembali ke kampung halaman. Ia kemudian bekerja sebagai agen kapal selama lima tahun (2018-2023), tetapi frekuensi serangan epilepsi yang tinggi, yang menurut orang-orang disebabkan oleh kelelahan dan pikiran yang berlebihan, mendorongnya untuk berhenti. Saat ini, ia membantu neneknya berjualan kopi, merasakan penerimaan dan dukungan dari lingkungan sosialnya. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan sosial dalam menghadapi penyakit kronis.

Perawatan Medis dan Dukungan Sosial:

Sejak 1,5 tahun terakhir, Hamka menjalani terapi obat di Puskesmas Raas. Terapi ini telah terbukti efektif mengurangi frekuensi serangan epilepsinya. Sebelum terapi ini, ia telah mencoba berbagai cara pengobatan alternatif, namun tanpa hasil yang signifikan. Kini, dukungan teman-teman yang berani menolongnya saat serangan datang menjadi momen yang tak terlupakan, berbeda jauh dengan pengalaman pahit di masa sekolah. A.G. Falanoe Lutfi, petugas Puskesmas Raas, mengungkapkan telah menyaksikan beberapa kali serangan epilepsi Hamka, termasuk saat jatuh ke laut dan mengalami luka robek di bibir. Terapi obat yang diberikan berupa satu paket obat untuk 10 hari, yang diminum satu kali sehari.

Meskipun belum sepenuhnya sembuh, Hamka terus berjuang dan optimis. Kisahnya menjadi inspirasi bagi mereka yang menghadapi tantangan serupa, bahwa hidup berdampingan dengan penyakit kronis tetap memungkinkan dengan perubahan perspektif, dukungan sosial, dan perawatan medis yang tepat. Kisah Hamka menjadi pengingat akan pentingnya empati dan dukungan komunitas dalam menghadapi penyakit kronis.