Makna Puasa di Luar Sekadar Lapar dan Haus: Menuju Transformasi Diri dan Bangsa

Makna Puasa di Luar Sekadar Lapar dan Haus: Menuju Transformasi Diri dan Bangsa

Puasa, ibadah wajib bagi umat Islam, jauh melampaui sekadar menahan lapar dan haus dari terbit hingga terbenam matahari. Sabda Nabi SAW yang menyatakan bahwa sebagian orang berpuasa hanya merasakan lapar dan haus tanpa memperoleh manfaat spiritual lainnya, menunjukkan betapa pentingnya memahami esensi puasa yang sebenarnya. Ibadah ini merupakan titik awal untuk pengendalian diri yang lebih komprehensif, meliputi pengendalian perasaan, pikiran, dan seluruh anggota tubuh agar selaras dengan ajaran agama. Dengan demikian, puasa sesungguhnya dimulai ketika individu mampu mengendalikan hawa nafsu dan mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran.

Proses pengendalian diri selama bulan Ramadhan ini dapat diibaratkan sebagai riyadlah, latihan spiritual intensif selama sebulan penuh. Periode ini memberikan kesempatan untuk melakukan restorasi spiritual dan moral. Setelah sebelas bulan bergelut dengan urusan duniawi, puasa menjadi momentum untuk membersihkan hati dan pikiran dari pengaruh negatif, sehingga dapat kembali fokus pada nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Abu Hamid al-Ghazali, seorang tokoh sufi terkemuka, menetapkan tujuh organ tubuh yang perlu dikendalikan: mulut, telinga, mata, tangan, kaki, perut, dan organ reproduksi. Pengendalian organ-organ tubuh ini sangat bergantung pada kemampuan mengendalikan pikiran dan perasaan.

Al-Ghazali menekankan bahwa kegagalan mengendalikan pikiran dan perasaan akan berakibat pada ketidakmampuan mengendalikan organ tubuh. Hawa nafsu yang tak terkendali dapat mengarahkan seseorang pada tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral. Hal ini sesuai dengan peringatan Nabi SAW tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang tak terbatas. Kegagalan dalam berpuasa, dan ibadah lainnya, dapat menyebabkan seseorang mengabaikan kebenaran dan terjerumus dalam pengejaran ambisi duniawi yang tak terkendali. Penyimpangan perilaku individu dan sosial, serta tindakan korupsi yang merugikan bangsa dan negara, seringkali berakar dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu.

Dalam konteks membangun masyarakat, agama menekankan transformasi individual. Nabi Muhammad SAW membangun karakter individu di Makkah dan Madinah hingga tercipta pribadi yang sadar akan kebaikan dan kebenaran, hak dan kewajibannya, dan selalu ingat kepada Allah SWT. Para sahabat Nabi, seperti Abu Bakar As-Siddiq dan Umar ibn al-Khaththab, menunjukkan keteladanan yang luar biasa dalam pengendalian diri dan pengabdian kepada masyarakat. Kehidupan mereka menjadi living values yang menginspirasi. Kemampuan mengendalikan diri dan melepaskan diri dari kekayaan dan kekuasaan membuat mereka berani menegur dan menindak tegas siapa pun yang merugikan bangsa dan negara.

Puasa sebagai riyadlah jasmani dan rohani diharapkan menghasilkan pribadi-pribadi yang menjadi teladan keutamaan puasa. Individu yang mampu mengendalikan diri akan berani menegakkan kebenaran dan melawan ketidakadilan. Menjelang akhir Ramadhan, sangat penting untuk merenungkan makna puasa kita. Apakah puasa kita hanya sekadar menahan lapar dan haus, ataukah telah membawa kita pada transformasi diri menuju pengendalian hawa nafsu dan pengabdian kepada Allah SWT dan sesama?

Idealnya, puasa adalah proses menyucikan diri dari syahwat dan angan-angan duniawi, dan berbuka dengan kebaikan dan kebenaran. Semoga kita semua dapat meraih keberkahan puasa yang sesungguhnya dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Hodri Ariev Ketua RMI-PBNU