Sidang Perdana Hasto Kristiyanto: Kriminalisasi Hukum atau Penegakan Keadilan?
Sidang Perdana Hasto Kristiyanto: Kriminalisasi Hukum atau Penegakan Keadilan?
Sidang perdana Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, terkait kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku telah digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat, 14 Maret 2025. Usai persidangan, Hasto terlihat emosional, memeluk sang istri, Maria Stefani Ekowati, dan meneriakkan “Merdeka!” kepada para pendukungnya yang hadir. Gestur tersebut menjadi sorotan publik di tengah dakwaan jaksa yang menuduh Hasto melakukan perintangan penyidikan dan memberikan suap kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Hasto sendiri tegas membantah semua tuduhan dan menyatakan bahwa proses hukum yang menjeratnya merupakan bentuk kriminalisasi. Ia berpendapat dakwaan jaksa telah didaur ulang dan didasari kepentingan politik. “Saya semakin meyakini bahwa ini adalah kriminalisasi hukum, pengungkapan suatu pokok perkara yang sudah inkrah, dan didaur ulang karena kepentingan-kepentingan politik di luarnya,” tegas Hasto. Meskipun demikian, ia menyatakan akan mengikuti seluruh proses hukum dengan sebaik-baiknya seraya berkeyakinan keadilan akan ditegakkan.
Tim kuasa hukum Hasto, yang dipimpin oleh Febri Diansyah, juga menyoroti sejumlah kelemahan dalam dakwaan jaksa. Febri mengungkapkan beberapa poin penting:
- Kesalahan penulisan pasal: Dakwaan jaksa keliru mencantumkan Pasal 65 KUHAP, bukan Pasal 65 KUHP, yang berdampak signifikan terhadap substansi hukum.
- Pengabaian pengajuan saksi ahli: KPK dinilai telah mengabaikan hak Hasto untuk mengajukan saksi ahli meringankan, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHAP, dengan alasan mempercepat proses pelimpahan perkara.
- Inkonsistensi dakwaan: Tim kuasa hukum mempertanyakan inkonsistensi dakwaan terhadap Hasto dibandingkan dengan dakwaan terhadap Wahyu Setiawan, terutama terkait sumber dana suap sebesar Rp 400 juta. Dakwaan terhadap Hasto seolah-olah mengalihkan sumber dana tersebut kepada dirinya, berbeda dengan dakwaan terhadap Wahyu Setiawan.
Febri menekankan perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang objektivitas penyidikan dan penetapan tersangka. “Apakah sedemikian rupa mengubah dakwaan hanya untuk menjerat Hasto Kristiyanto?,” tanya Febri. Ia menambahkan bahwa keseluruhan kasus ini merupakan satu kesatuan peristiwa, dan seharusnya tidak ada perbedaan substansial dalam dakwaan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang tersebut mendakwa Hasto telah secara sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan terhadap Harun Masiku, tersangka kasus suap yang telah buron sejak tahun 2020. Selain itu, Hasto didakwa memberikan suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku. Suap tersebut diberikan bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku. Donny Tri Istiqomah telah ditetapkan sebagai tersangka, Saeful Bahri telah divonis bersalah, sementara Harun Masiku masih menjadi buronan.
Persidangan ini tentu akan menjadi sorotan publik dan pengamat hukum. Apakah tuduhan terhadap Hasto akan terbukti? Ataukah ini benar-benar sebuah kriminalisasi hukum seperti yang diklaim oleh terdakwa dan tim kuasa hukumnya? Jawabannya hanya dapat diperoleh melalui proses hukum yang transparan dan adil.