Pengawalan Kendaraan Sipil: Kewenangan Eksklusif Kepolisian dan Batasan Hukumnya
Pengawalan Kendaraan Sipil: Kewenangan Eksklusif Kepolisian dan Batasan Hukumnya
Baru-baru ini, beredar video viral di media sosial yang memperlihatkan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) mengawal sebuah mobil pribadi. Kejadian ini memicu pertanyaan penting terkait kewenangan pengawalan kendaraan di jalan raya, khususnya mengenai peran dan batasan wewenang Dishub dibandingkan dengan Kepolisian. Penggunaan kendaraan dinas Dishub yang dilengkapi rotator dan sirene semakin memperkeruh situasi, menimbulkan kebingungan publik tentang legalitas tindakan tersebut.
Pakar hukum dan transportasi, Budiyanto, memberikan penjelasan yang komprehensif terkait hal ini. Beliau menegaskan bahwa pengawalan bukanlah sekadar mengantar kendaraan sampai tujuan dengan aman. Lebih dari itu, pengawalan melibatkan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawab yang signifikan, serta berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum. Proses pengawalan, menurut Budiyanto, seringkali melibatkan tindakan upaya paksa, seperti pengaturan lalu lintas yang dapat sementara waktu merampas hak pengguna jalan lain. Contohnya, kendaraan yang dikawal dapat melewati persimpangan saat lampu merah, sementara kendaraan lain harus menunggu.
Budiyanto menekankan bahwa kewenangan pengawalan secara hukum di Indonesia diamanatkan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Kedua undang-undang tersebut secara tegas memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan tindakan pengaturan lalu lintas, termasuk pengawalan, demi kepentingan umum. Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 dan Pasal 104 UU No. 22 Tahun 2009 mengatur kewenangan diskresi kepolisian dalam hal ini, termasuk wewenang untuk memerintahkan arus lalu lintas berhenti, berjalan, mempercepat, atau beralih jalur.
Lebih lanjut, Budiyanto menjelaskan bahwa tindakan upaya paksa yang dilakukan Polri dalam proses pengawalan dilindungi oleh undang-undang. Petugas kepolisian yang bertugas mengawal telah dilatih dan dibekali kompetensi yang dibutuhkan untuk menjamin keselamatan obyek yang dikawal dan meminimalisir risiko kecelakaan. Sebaliknya, jika tindakan pengawalan dilakukan oleh pihak lain di luar Kepolisian, seperti Dishub, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum karena tidak memiliki wewenang untuk melakukan upaya paksa. Konsekuensi hukumnya pun dapat beragam, mulai dari sanksi administrasi hingga pidana, terutama jika terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh tindakan pengawalan ilegal tersebut.
Kesimpulannya, pengawalan kendaraan, khususnya yang melibatkan pengaturan lalu lintas dan upaya paksa, merupakan kewenangan eksklusif Kepolisian. Tindakan pengawalan oleh pihak lain yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dapat berimplikasi hukum yang serius. Masyarakat diharapkan memahami hal ini dan melaporkan setiap kejadian pengawalan yang diduga ilegal kepada pihak berwajib.
Point Penting:
- Pengawalan melibatkan tindakan upaya paksa.
- Kewenangan pengawalan berada di tangan Kepolisian.
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 mengatur hal ini.
- Pengawalan oleh pihak selain Kepolisian berpotensi melanggar hukum.
- Risiko kecelakaan dan konsekuensi hukum yang ditimbulkan.