Loyalitas Ganda: Imparsial Usul Pensiun Dini TNI-Polri di Jabatan Sipil

Loyalitas Ganda: Imparsial Usul Pensiun Dini TNI-Polri di Jabatan Sipil

Anggota TNI dan Polri aktif yang menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga dinilai perlu pensiun dini untuk mencegah potensi loyalitas ganda. Hal ini disampaikan oleh Peneliti Senior Imparsial, Al Araf, dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi I DPR RI, Selasa (4/3/2025). Araf menekankan bahwa keberadaan personel aktif TNI-Polri di posisi sipil menimbulkan dilema loyalitas, di mana mereka terbagi antara tanggung jawab kepada institusi militer/kepolisian dan kepada atasan sipil di kementerian. Menurutnya, situasi ini tidak hanya mengaburkan garis kewenangan, tetapi juga berpotensi merugikan profesionalisme aparatur sipil negara (ASN).

"Jika ingin berkarir di sektor sipil, pensiun dini adalah solusinya. Selama masih aktif, loyalitas mereka kepada siapa? Apakah kepada menteri, panglima TNI, atau Kapolri?" tanya Araf dalam RDP tersebut. Ia menegaskan bahwa situasi ini menciptakan dualisme loyalitas yang berisiko mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kelola negara. Araf bahkan menggarisbawahi adanya potensi sekuritisasi dan otoritarianisme jika praktik penempatan personel TNI-Polri aktif di jabatan sipil terus dinormalisasi. "Jangan sampai kita menormalisasi kehadiran militer di pemerintahan sipil negara demokrasi," tegasnya. Menurutnya, hal ini dapat mengarah pada penguatan pengaruh militer di sektor sipil dan melemahkan sistem pemerintahan sipil.

Lebih lanjut, Araf merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur keterlibatan prajurit aktif dalam posisi kementerian/lembaga, namun dengan batasan yang jelas. Ia mempertanyakan praktik yang terjadi di lapangan. Mengutip data yang pernah diperolehnya di Lemhanas, Araf menyebut terdapat sekitar 2.500 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil. Angka tersebut, menurutnya, jauh melampaui batas yang diizinkan oleh UU TNI. Ia pun meminta DPR untuk melakukan pengecekan ulang data tersebut.

Salah satu kasus yang disoroti Araf adalah pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab. Ia menilai penempatan posisi Seskab di bawah struktur militer bertentangan dengan UU TNI. "Perdebatan soal ini pelik dan kompleks, jelas melanggar UU," tegas Araf. Lebih jauh, Araf menyoroti dampak dari praktik ini terhadap birokrasi sipil dan karier PNS. Banyak PNS, termasuk beberapa kenalan Araf yang telah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, terhambat kariernya karena posisi jabatan strategis ditempati oleh personel TNI-Polri aktif.

Menurutnya, hal ini jelas mengganggu sistem meritokrasi dan profesionalisme birokrasi sipil. "PNS punya harapan dan mimpi untuk naik jabatan, tetapi terhambat karena posisi tersebut diisi oleh militer aktif atau polisi aktif," ujarnya. Araf menegaskan bahwa tugas militer adalah pertahanan negara, sementara tugas polisi adalah penegakan hukum. Ia menekankan perlunya pemisahan yang tegas antara peran militer/kepolisian dan pemerintahan sipil agar tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, dan profesional. Araf meminta DPR untuk bertindak tegas dan mengoreksi praktik penempatan TNI-Polri aktif di jabatan sipil yang telah menyimpang dari aturan yang berlaku.

Daftar poin penting yang disoroti Al Araf:

  • Potensi loyalitas ganda TNI-Polri aktif di jabatan sipil.
  • Pelanggaran UU TNI terkait jumlah personel aktif di jabatan sipil.
  • Normalisasi kehadiran militer di pemerintahan sipil.
  • Hambatan karier PNS akibat penempatan personel TNI-Polri aktif.
  • Sekuritisasi dan potensi otoritarianisme.
  • Pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab dan implikasinya.