Perubahan Tatanan Ekonomi Global: Tantangan dan Strategi Indonesia di Era New Economic Order

Perubahan Tatanan Ekonomi Global: Tantangan dan Strategi Indonesia di Era New Economic Order

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini memaparkan transformasi signifikan dalam tatanan ekonomi global, yang beliau sebut sebagai "The New Economic Order." Era ini ditandai oleh pergeseran paradigma dari multilateralisme dan aturan berbasis global, yang selama lebih dari setengah abad menjadi landasan interaksi ekonomi internasional pasca Perang Dunia II, menuju dominasi unilateralisme. Perubahan ini, menurut Sri Mulyani, berakar pada kebijakan-kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh beberapa negara besar, terutama sejak kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat.

Salah satu manifestasi nyata dari pergeseran ini adalah meningkatnya perang dagang. Penerapan tarif bea masuk yang tinggi oleh AS terhadap negara-negara sekutu seperti Kanada, Eropa, Meksiko, dan Tiongkok telah memicu reaksi balasan dan saling balas dendam di antara negara-negara yang terlibat. Situasi ini, dikombinasikan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan ancaman konflik bersenjata di berbagai belahan dunia, menciptakan lingkungan ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

Di tengah dinamika global yang kompleks ini, Sri Mulyani menekankan pentingnya upaya setiap negara untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Indonesia, menurut beliau, tak terkecuali. Meskipun menghadapi tantangan eksternal yang signifikan, Indonesia berhasil menunjukkan ketahanan ekonomi yang patut diapresiasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 yang mencapai 5% dinilai sebagai prestasi yang membanggakan, mengingat kondisi ekonomi global yang bergejolak.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menjabarkan beberapa indikator ekonomi makro Indonesia yang menunjukkan kinerja positif. Inflasi berhasil ditekan pada level rendah, sementara neraca pembayaran surplus sebesar US$ 7,2 miliar pada tahun 2024, meningkat 14,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Surplus neraca perdagangan pada Januari 2025 juga mengalami peningkatan yang signifikan, mencapai US$ 3,5 miliar atau naik 78% dari angka US$ 1,5 miliar pada tahun 2024. Kondisi ini menunjukkan ketahanan fundamental ekonomi Indonesia.

Namun, Sri Mulyani juga mengakui adanya perlambatan dalam penerimaan negara. Penurunan harga komoditas menjadi faktor utama penyebab perlambatan ini. Penerimaan pajak hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 187,8 triliun, turun 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp 269,02 triliun). Meskipun demikian, pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui berbagai inisiatif strategis dan perbaikan administrasi.

Di sisi lain, belanja negara tetap berjalan sesuai rencana (on track), meskipun pemerintah melakukan upaya efisiensi. Hingga Februari 2025, realisasi belanja negara mencapai 9,6% atau Rp 348,1 triliun. Pemerintah memastikan bahwa efisiensi dilakukan tanpa mengorbankan program bantuan sosial dan kebutuhan pokok masyarakat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap berperan sebagai instrumen penting dalam menjaga kinerja ekonomi, mendorong pertumbuhan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sri Mulyani menegaskan komitmen pemerintah untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang dinamis. Strategi yang tepat dan kebijakan fiskal yang adaptif menjadi kunci bagi Indonesia untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi dan mencapai tujuan pembangunan nasional di tengah ketidakpastian "The New Economic Order".