Polemik Prasasti Penjabat Bupati Lebak: Sejarah atau Kekeliruan Administratif?

Polemik Prasasti Penjabat Bupati Lebak: Sejarah atau Kekeliruan Administratif?

Pelantikan Bupati Lebak, Hasbi Asyidiky Jayabaya, pada Senin, 3 Maret 2025, diwarnai polemik terkait prasasti yang terpasang di Gedung Negara Lebak. Prasasti tersebut mencantumkan nama penjabat (Pj) bupati di antara daftar bupati definitif. Hal ini langsung mendapat tanggapan tegas dari Bupati Hasbi yang menilai pencantuman nama Pj bupati sebagai sebuah kekeliruan yang menyimpang dari sejarah pemerintahan daerah. Ia pun langsung meminta Sekretaris Daerah Lebak untuk segera melakukan koreksi atas prasasti tersebut.

Bupati Hasbi berpendapat bahwa pencantuman nama Pj Bupati dalam prasasti merupakan pelanggaran aturan, mengingat jabatan bupati merupakan jabatan politik yang dipilih langsung oleh rakyat. Berbeda dengan Pj bupati yang merupakan jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN). "Mencantumkan nama Pj bupati dalam prasasti sama saja dengan menyimpangkan sejarah," tegas Bupati Hasbi. Ia menekankan pentingnya menjaga akurasi sejarah pemerintahan di Kabupaten Lebak dan menghindari tindakan yang berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi ASN lainnya. Pernyataan tegas Bupati Hasbi ini disampaikan langsung kepada Pj Bupati sebelumnya, Gunawan Rusminto, yang turut hadir dalam serah terima jabatan tersebut.

Di sisi lain, Gunawan Rusminto, Pj Bupati sebelumnya, memberikan penjelasan terkait prasasti tersebut. Ia berpendapat bahwa pencantuman nama Pj bupati merupakan bentuk penghormatan dan upaya untuk melestarikan sejarah pemerintahan di Kabupaten Lebak. Gunawan menjelaskan bahwa praktik serupa juga dilakukan di daerah lain, seperti di Pandeglang, bahkan di Kementerian Dalam Negeri. Menurutnya, prasasti tersebut bertujuan untuk memberikan apresiasi kepada para pejabat yang telah bertugas sebelumnya, tanpa memandang status jabatan mereka, baik definitif maupun penugasan.

Perbedaan pandangan ini menimbulkan perdebatan terkait bagaimana seharusnya sejarah pemerintahan daerah dicatat dan diabadikan. Persoalan ini menyoroti pentingnya pedoman dan standar yang jelas dalam penulisan sejarah pemerintahan, terutama mengenai peran dan posisi penjabat sementara dalam konteks pemerintahan daerah. Perbedaan penafsiran antara Bupati Hasbi dan mantan Pj Bupati Gunawan Rusminto menunjukkan perlunya diskusi lebih lanjut untuk mencapai kesepahaman mengenai hal ini.

Selain polemik prasasti, Bupati Hasbi juga mengumumkan kebijakannya untuk tidak menerapkan program 100 hari kerja. Ia lebih memilih untuk fokus langsung pada pelaksanaan tugas pemerintahan dan menyesuaikan program kerjanya dengan program Asta Cita Presiden. Bupati Hasbi beralasan bahwa program 100 hari seringkali hanya menjadi janji yang sulit direalisasikan dan berpotensi menimbulkan kontroversi. Sebagai prioritas utama, Bupati Hasbi menargetkan renovasi Alun-alun Rangkasbitung dengan fokus perbaikan drainase untuk mencegah banjir, reformasi birokrasi di Organisasi Perangkat Daerah (OPD), serta perbaikan data penerima bantuan sosial (bansos) agar lebih tepat sasaran.

Permasalahan ini membuka diskusi penting tentang bagaimana sebuah daerah mencatat sejarahnya, peran Pj kepala daerah, dan bagaimana praktik pemerintahan yang baik dapat diterapkan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi. Ke depannya, diharapkan akan ada kesepakatan dan regulasi yang lebih jelas terkait pencantuman nama pejabat dalam prasasti pemerintahan daerah agar kejadian serupa dapat dihindari.