Tantangan Komunikasi Publik di Era Pasca-Kebenaran: Studi Kasus Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Tantangan Komunikasi Publik di Era Pasca-Kebenaran: Studi Kasus Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Sebuah diskusi panel yang diselenggarakan di Universitas Paramadina, Jakarta, pada 11 Maret 2025, mengupas permasalahan komunikasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Diskusi yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting seperti Wijayanto Samirin (pengajar ekonomi Universitas Paramadina), Andi Mallarangeng (Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), Uni Lubis (Pemred IDN Times), dan Abdul Rahman Ma’mun (Dosen Paramadina), menganalisis temuan survei Litbang Kompas Februari 2025 yang menunjukkan rendahnya efektivitas komunikasi pemerintah. Survei tersebut mengungkapkan bahwa 68,8% program pemerintahan belum tersosialisasikan dengan baik, mengungkapkan kebutuhan mendesak untuk perbaikan strategi komunikasi.

Permasalahan komunikasi pemerintah, yang digambarkan sebagai 'carut-marut' atau 'yoyo policy' oleh Uni Lubis, terlihat jelas dalam beberapa kebijakan kontroversial. Kasus PPN 12%, permasalahan elpiji 3kg, dan program efisiensi anggaran menjadi contoh nyata bagaimana perubahan kebijakan yang tiba-tiba dan tanpa komunikasi yang efektif justru menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat. Meskipun ada interpretasi yang melihat pendekatan ini sebagai strategi untuk akhirnya berpihak pada rakyat, ketidakpastian yang ditimbulkan justru berdampak negatif, menimbulkan kepanikan pasar dan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Program ekonomi komando dan gagasan Sekolah Rakyat juga menuai skeptisisme publik karena kurangnya informasi yang jelas dan komprehensif.

Lebih lanjut, diskusi ini juga menyoroti tantangan komunikasi di era pasca-kebenaran. Dalam era di mana siapapun dapat menyebarkan dan menafsirkan informasi, pesan-pesan politik seringkali disalahpahami atau dimanipulasi. Realitas sosiologis menunjukkan masyarakat yang terfragmentasi, dengan adanya berbagai kelompok kepentingan yang dinamis, yang mempersulit upaya membangun narasi publik yang konsisten. Perubahan aliansi politik dan rekam jejak digital yang tersimpan juga semakin memperumit proses komunikasi, mengurangi kredibilitas beberapa aktor politik.

Sebagai perbandingan, diskusi menyinggung keberhasilan komunikasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keberhasilan tersebut, menurut para peserta diskusi, didukung oleh adanya hubungan ‘mutual respect’ antara kantor kepresidenan dan media. Media, bukan hanya sebagai saluran informasi pemerintah, melainkan juga sebagai mitra kritis dan kontrol sosial. Strategi penggunaan hak jawab oleh Presiden SBY dalam menanggapi pemberitaan yang dianggap merugikan menjadi contoh implementasi komunikasi yang efektif dan transparan. Pada era Orde Baru, pendekatan proaktif dengan melibatkan pemimpin redaksi dalam proses pembuatan kebijakan juga terbukti efektif dalam mengurangi kesalahpahaman.

Salah satu faktor kunci keberhasilan komunikasi di era SBY adalah akses langsung media kepada juru bicara presiden yang terpercaya, seperti Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Kepercayaan publik terhadap juru bicara yang kredibel dan integritasnya tinggi merupakan hal krusial dalam membangun komunikasi publik yang efektif. Berbeda dengan pemerintahan saat ini, dimana Kantor Komunikasi Presiden dinilai kurang memiliki akses langsung kepada presiden, mengakibatkan inkonsistensi informasi dan kebijakan.

Kesimpulannya, diskusi ini menekankan perlunya optimalisasi Kantor Komunikasi Presiden melalui akses informasi yang memadai kepada presiden, penunjukan juru bicara yang kredibel, dan pilihan kata yang bijak untuk menjaga kemartabatan politik. Komunikasi publik yang efektif tidak hanya mengenai penyampaian informasi, tetapi juga tentang membangun kepercayaan, menghormati peran media, dan memahami kompleksitas masyarakat di era pasca-kebenaran.