Krisis Hyundai Steel: Tarif Impor AS dan Tantangan Internal Picu Penghematan Ekstrem
Krisis Hyundai Steel: Tarif Impor AS dan Tantangan Internal Picu Penghematan Ekstrem
Produsen baja raksasa Korea Selatan, Hyundai Steel, tengah berjuang menghadapi badai sempurna yang mengancam keberlangsungan operasional perusahaan. Penerapan status manajemen darurat menjadi langkah drastis yang diambil perusahaan sebagai respons atas guncangan eksternal dan internal yang saling berkelindan. Kebijakan tarif impor baja 25% yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump, dikenal sebagai pukulan telak bagi daya saing ekspor Hyundai Steel, menjadi pemicu utama krisis ini. Namun, permasalahan yang dihadapi perusahaan jauh lebih kompleks dan meluas dari sekadar kebijakan proteksionis Amerika Serikat.
Salah satu langkah signifikan yang diambil Hyundai Steel adalah pemotongan gaji 20% bagi seluruh eksekutif. Langkah ini, yang diungkap oleh media Korea Selatan, Dong-A Ilbo, mencerminkan kedalaman krisis yang tengah dihadapi perusahaan. Selain pemotongan gaji, perusahaan juga melakukan efisiensi biaya dengan menyederhanakan perjalanan dinas ke luar negeri. Lebih jauh lagi, Hyundai Steel bahkan mempertimbangkan penerimaan aplikasi pensiun dini secara sukarela dari seluruh karyawan. Ini menunjukkan betapa seriusnya kondisi keuangan perusahaan hingga terpaksa mengambil langkah-langkah ekstrem tersebut.
Faktor internal turut memperburuk kondisi Hyundai Steel. Perusahaan telah bergulat dengan negosiasi upah yang alot dengan serikat pekerja sejak September 2024. Penolakan serikat pekerja terhadap tawaran bonus kinerja sebesar 26,5 juta won per karyawan, dan tuntutan bonus tambahan setingkat dengan grup Hyundai Motor, semakin memperberat beban keuangan perusahaan. Situasi ini diperparah oleh penurunan permintaan baja pelat berat akibat lesunya industri konstruksi domestik, serta persaingan ketat dengan produk baja murah asal Tiongkok yang membanjiri pasar.
Banjirnya produk baja murah dari Tiongkok mengakibatkan penurunan pangsa pasar Hyundai Steel. Menanggapi hal ini, pemerintah Korea Selatan telah memberlakukan bea anti-dumping pada baja pelat berat asal Tiongkok dan tengah menyelidiki produk baja canai panas impor dari Tiongkok dan Jepang. Namun, upaya pemerintah tersebut belum cukup untuk mengatasi krisis yang dihadapi Hyundai Steel. Penutupan sementara Pabrik Pohang Nomor 2, serta penerimaan aplikasi pensiun dini dan transfer karyawan dari pabrik Pohang ke pabrik Dangjin dan Incheon, menjadi indikator lain atas upaya perusahaan untuk mengurangi biaya operasional dan mengatasi krisis yang sedang berlangsung.
Gabungan faktor eksternal, berupa tarif impor AS, dan tantangan internal, seperti negosiasi upah yang alot dan persaingan pasar yang ketat, telah menciptakan situasi yang sangat kritis bagi Hyundai Steel. Langkah-langkah penghematan ekstrem yang diambil perusahaan menunjukkan urgensi situasi dan betapa perusahaan berjuang keras untuk bertahan di tengah badai yang menerjang. Masa depan Hyundai Steel kini berada di ujung tanduk, dan keputusan-keputusan strategis yang diambil dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan nasib perusahaan baja raksasa Korea Selatan ini.