Mitos dan Fakta Sampah Plastik: Kemasan Kecil, Ancaman Nyata Pencemaran Lingkungan
Mitos dan Fakta Sampah Plastik: Kemasan Kecil, Ancaman Nyata Pencemaran Lingkungan
Persoalan sampah plastik di Indonesia masih menjadi tantangan serius. Data statistik persampahan domestik pada akhir 2024 menunjukkan plastik menduduki peringkat kedua jenis sampah terbanyak, mencapai 5,4 juta ton per tahun atau 14 persen dari total produksi sampah nasional. Angka ini menjadi sorotan, terutama dengan beredarnya narasi yang menuding kemasan plastik sekali pakai berukuran besar, seperti botol dan galon, sebagai penyumbang utama pencemaran. Namun, sebuah penelitian terbaru justru mengungkap fakta yang berbeda.
Ahmad Safrudin, Founder Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC), menjelaskan pentingnya membedakan antara plastik sebagai material dan plastik sebagai sampah. Keberadaan plastik di truk pengangkut sampah atau tempat sampah sementara belum dikategorikan sebagai sampah. Klasifikasi sampah baru berlaku setelah plastik tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Penelitian NZWMC yang meneliti 25 jenis sampah plastik teratas di enam kota besar Indonesia menunjukkan hasil yang mengejutkan: kemasan plastik kecil justru mendominasi. Laporan tersebut menempatkan kemasan saset di posisi teratas dengan total 152.783 buah sampah, diikuti oleh gelas plastik air minum dalam kemasan (AMDK) sebanyak 135.383 buah. Yang lebih mengejutkan lagi, kemasan plastik sekali pakai berukuran besar hampir tidak ditemukan di TPA, badan sungai, atau laut. Sebaliknya, serpihan plastik kemasan kecil, seperti saset dan gelas plastik AMDK, menjadi sampah plastik yang paling banyak ditemukan di lokasi-lokasi tersebut.
Mengapa kemasan plastik kecil menjadi dominan? Ahmad Safrudin menjelaskan beberapa faktor kunci. Pertama, ukurannya yang kecil membuat proses pengumpulan oleh pemulung menjadi tidak efisien. Pemulung membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk mengumpulkan jumlah sampah yang signifikan. Kedua, sampah seperti saset dan gelas plastik AMDK sering terkontaminasi sisa makanan atau cairan, sehingga memerlukan proses pembersihan tambahan yang meningkatkan biaya pengolahan. Ahmad menambahkan, "Seluruh gelas plastik harus dibersihkan sebelum didaur ulang, dan setiap tahap proses membutuhkan biaya. Akibatnya, nilai ekonomi yang seharusnya didapat berkurang karena prosesnya lebih rumit." Hal senada disampaikan oleh Hadiyan Fariz Azhar, CEO Kita Bumi. Ia menjelaskan bahwa plastik bernilai rendah, seperti saset dan gelas plastik AMDK, kurang diminati karena kendala dalam proses daur ulang. "Plastik bernilai rendah belum memiliki sistem pengelolaan yang optimal. Program daur ulangnya masih terbatas dan belum menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah yang luas," ujarnya.
Kesimpulannya, penelitian ini membantah asumsi umum bahwa kemasan plastik besar merupakan penyebab utama pencemaran. Fokus pengelolaan sampah perlu dialihkan pada sampah plastik kecil yang lebih sulit dikelola dan berdampak lebih besar terhadap lingkungan. Perlu adanya solusi inovatif dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk peningkatan efisiensi pengumpulan sampah, pengembangan teknologi daur ulang yang efektif dan terjangkau, serta kampanye edukasi untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai, terutama kemasan kecil.