Pakar Hukum Kritik Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Potensi Kembalinya Dwi Fungsi ABRI dan Pelemahan Pengawasan Publik

Pakar Hukum Kritik Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Potensi Kembalinya Dwi Fungsi ABRI dan Pelemahan Pengawasan Publik

Al Araf, Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative, mengungkapkan keprihatinannya terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI, Polri, dan Kejaksaan yang tengah dibahas DPR. Araf menekankan perlunya mengedepankan penguatan pengawasan publik ketimbang perluasan kewenangan lembaga penegak hukum tersebut. Dalam sebuah diskusi daring yang disiarkan melalui kanal YouTube FHUB Official pada Minggu, 16 Maret 2025, Araf secara tegas menyatakan bahwa tiga RUU tersebut perlu dievaluasi secara mendalam, bahkan ia menilai pembahasannya di DPR saat ini tidaklah mendesak dan perlu ditunda.

Tiga Poin Kritik Utama:

Araf menjabarkan sejumlah catatan kritis terhadap ketiga RUU tersebut. Pertama, terkait RUU TNI, Araf memperingatkan potensi kebangkitan dwi fungsi ABRI dengan adanya pasal yang memungkinkan anggota militer menduduki jabatan sipil. Hal ini, menurutnya, akan mengulang kesalahan masa lalu dan mengaburkan garis demarkasi antara peran militer dan sipil. Araf menjelaskan bahwa secara teoritis, tugas utama TNI adalah pelatihan dan pendidikan untuk persiapan perang. Penarikan TNI ke sektor non-pertahanan, khususnya dengan menempatkan mereka dalam jabatan sipil, akan menimbulkan risiko serius bagi prinsip-prinsip negara hukum dan profesionalisme militer.

Kedua, Araf mengkritik RUU Polri yang memasukkan frasa “keamanan nasional” dalam Pasal 14 ayat (1) sebagai tugas kepolisian. Ia menilai, penggunaan diksi tersebut terbilang baru dan belum pernah tercantum dalam UU Nomor 22 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kejelasan definisi dan batasan “keamanan nasional” dalam konteks tugas kepolisian perlu dikaji secara cermat agar tidak menimbulkan interpretasi yang multitafsir dan berpotensi melanggar hak asasi warga negara.

Ketiga, RUU Kejaksaan juga menuai kritik Araf terkait fungsi intelijen penyelidikan yang memungkinkan pemanggilan seseorang tanpa alat bukti. Araf berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menekankan perlunya bukti yang cukup sebelum melakukan pemanggilan atau penyelidikan terhadap warga negara. Ia menekankan bahwa hak warga negara untuk tidak diperiksa tanpa alasan yang jelas dan bukti yang cukup harus dijamin dan dihormati. Fungsi intelijen, menurut Araf, berpotensi disalahgunakan jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan.

Kesimpulan:

Secara keseluruhan, Araf menyoroti perlunya DPR dan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali urgensi pembahasan tiga RUU tersebut. Ia menggarisbawahi pentingnya mengutamakan penguatan sistem pengawasan publik dan penegakan supremasi hukum ketimbang perluasan kewenangan yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah hukum dan sosial politik di masa depan. Revisi UU harus dilakukan secara hati-hati, transparan, dan melibatkan partisipasi publik secara luas agar menghasilkan regulasi yang baik dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Proses legislasi yang kurang partisipatif dan terkesan terburu-buru dikhawatirkan akan menimbulkan kontroversi dan bahkan berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia.