OTT KPK di OKU: Tiga Anggota DPRD Ditangkap Terkait Penagihan Fee Proyek Jelang Lebaran
OTT KPK di OKU: Tiga Anggota DPRD Ditangkap Terkait Penagihan Fee Proyek Jelang Lebaran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap praktik penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh sejumlah pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada 15 Maret 2025 telah membongkar jaringan korupsi yang melibatkan tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) OKU dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) setempat. Ironisnya, penagihan fee proyek yang menjadi pemicu OTT ini terjadi hanya sehari setelah KPK mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2025 terkait pencegahan gratifikasi menjelang hari raya Idul Fitri.
Sebanyak enam orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Tiga diantaranya merupakan anggota DPRD OKU, yakni Ferlan Juliansyah (FJ) anggota Komisi III, M. Fahrudin (MFR) Ketua Komisi III, dan Umi Hartati (UH) Ketua Komisi II. Dua tersangka lainnya adalah pihak swasta, M. Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS), yang diduga sebagai penyedia dana. Tersangka terakhir adalah Nopriansyah (NOP), Kepala Dinas PUPR OKU yang menjadi pihak penerima dan penyalur fee.
Menurut keterangan KPK, FJ, MFR, dan UH secara bersama-sama menagih fee proyek kepada Nopriansyah menjelang Lebaran. Fee ini merupakan bagian dari kesepakatan yang telah terjalin sejak Januari 2025 terkait sembilan proyek di Kabupaten OKU. Nopriansyah, yang telah menerima uang sejumlah Rp 2,2 miliar dari Fauzi dan Rp 1,5 miliar dari Ahmad, berjanji akan membayarkan fee tersebut sebelum hari raya Idul Fitri. Uang tersebut diduga diperuntukkan bagi pembagian kepada anggota DPRD OKU yang terlibat.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK berhasil mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 2,6 miliar dan sebuah mobil Fortuner. Keberanian KPK dalam bertindak ini menjadi sorotan publik, mengingat tindakan para tersangka terjadi hanya sehari setelah diterbitkannya SE Nomor 7 Tahun 2025 yang secara tegas melarang pemberian dan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara.
Lebih lanjut, KPK juga menyoroti rendahnya skor Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 di Kabupaten OKU yang masuk dalam kategori rentan atau merah. Skor terendah tercatat pada komponen internal, khususnya pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan skor 61,25 dan pengadaan barang dan jasa (PBJ) dengan skor 68,07. Skor pencegahan korupsi juga tergolong rendah, yaitu 76,99. Monitoring Centre for Prevention (MCP) tahun 2024 juga menunjukkan skor 82, dengan dua fokus area terendah pada pengelolaan barang milik daerah (BMD) dan penganggaran, yang masuk dalam kategori merah.
KPK menegaskan bahwa kasus korupsi di OKU ini telah direncanakan sejak tahap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Rendahnya skor MCP, khususnya pada indikator penetapan APBD yang hanya mencapai skor 9 (skala 1-100), menjadi bukti kuat akan kelemahan sistem pengawasan dan pengelolaan anggaran di daerah tersebut. Sebagai upaya pencegahan, KPK tengah gencar membangun desa antikorupsi di Sumatera Selatan dan mengajak masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pengawasan dan pelaporan dugaan korupsi.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh penyelenggara negara untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya. KPK menegaskan komitmennya untuk terus memberantas korupsi di seluruh Indonesia, termasuk dengan meningkatkan upaya pencegahan dan penegakan hukum secara tegas dan konsisten.