Pertamina vs Petronas: Perbandingan Kinerja dan Aset Dua Raksasa Migas Asia Tenggara di Tengah Kasus Korupsi
Pertamina vs Petronas: Perbandingan Kinerja dan Aset Dua Raksasa Migas Asia Tenggara di Tengah Kasus Korupsi
Baru-baru ini, PT Pertamina (Persero), perusahaan minyak dan gas milik negara Indonesia, tersandung kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi anak usahanya. Empat direktur utama dan tiga broker ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan praktik ilegal dalam pembelian dan pencampuran bahan bakar, serta mark-up kontrak pengiriman minyak mentah. Kasus ini menimbulkan pertanyaan publik terkait tata kelola perusahaan dan membangkitkan perbandingan dengan Petronas, perusahaan minyak nasional Malaysia yang kerap dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan di industri migas Asia Tenggara.
Perbandingan kinerja kedua perusahaan ini menarik untuk dikaji, terutama dalam konteks aset dan pendapatan. Meskipun Pertamina berdiri lebih awal, yakni pada tahun 1957, dibandingkan Petronas yang didirikan pada tahun 1974, Petronas berhasil melampaui Pertamina dalam hal skala dan jangkauan bisnis. Hal ini menarik untuk ditelisik mengingat Pertamina pada masa Orde Baru pernah menikmati masa keemasan sebagai salah satu eksportir minyak terbesar dunia dengan produksi mencapai 1,6 juta barel per hari di era 1980-an. Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana produksi minyak Indonesia fluktuatif di kisaran 500-700 ribu barel per hari, mengakibatkan Indonesia menjadi negara pengimpor minyak bersih.
Berdasarkan laporan keuangan masing-masing perusahaan, perbedaan aset dan pendapatan sangat signifikan. Laporan Keuangan Interim Petronas per Desember 2023 menunjukkan total aset mencapai 773,31 miliar ringgit Malaysia (RM), setara dengan Rp 2.844,72 triliun (dengan kurs RM 1 = Rp 3.678). Pendapatan Petronas pada periode yang sama mencapai 305,755 miliar ringgit atau setara dengan Rp 1.124,77 triliun, dengan EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) sebesar 128,59 miliar ringgit atau setara Rp 473 triliun. EBITDA merupakan indikator penting kinerja keuangan perusahaan sebelum dikurangi beban-beban tertentu.
Di sisi lain, Laporan Keuangan Pertamina 2023 mencatat total aset sebesar 91,123 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 1.497,84 triliun (dengan kurs 1 dollar AS = Rp 16.437). Pendapatan Pertamina mencapai 75,78 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 1.245,76 triliun, sementara EBITDA tercatat sebesar 14,4 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 236,7 triliun. Meskipun pendapatan Pertamina cukup mendekati Petronas, namun total aset dan EBITDA masih jauh lebih rendah.
Perbedaan kinerja ini tidak hanya disebabkan oleh faktor waktu berdiri, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, termasuk strategi bisnis, manajemen risiko, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar global. Kasus korupsi yang menimpa Pertamina menjadi sorotan dan menjadi salah satu faktor yang dapat mengancam kepercayaan investor dan publik. Ke depannya, Pertamina perlu melakukan reformasi internal dan meningkatkan tata kelola perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan memperbaiki reputasinya di kancah internasional.
Berikut daftar tersangka yang terlibat dalam kasus korupsi Pertamina:
- Riva Siahaan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga)
- Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping)
- Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional)
- Agus Purwono (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional)
- Tiga broker/makelar trading minyak dari perusahaan swasta (MKAR, DW, dan GRJ)
Analisis komprehensif mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan kinerja antara Pertamina dan Petronas, serta implikasi kasus korupsi terhadap Pertamina, memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan BUMN Indonesia lainnya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan bisnis.