Rapat Tertutup Revisi UU TNI di Hotel Mewah Picu Kontroversi dan Laporan Polisi: LBH Semarang Kecam Kriminalisasi Aktivis
Rapat Tertutup Revisi UU TNI di Hotel Mewah Picu Kontroversi dan Laporan Polisi: LBH Semarang Kecam Kriminalisasi Aktivis
Sebuah rapat tertutup yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 14-15 Maret 2025, terkait revisi Undang-Undang TNI telah menimbulkan gelombang protes dan kontroversi. Rapat yang berlangsung secara rahasia ini memicu kecaman dari berbagai kalangan, terutama terkait minimnya transparansi dan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan yang krusial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan publik mencapai puncaknya ketika tiga orang aktivis yang mengatasnamakan Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mencoba memasuki ruang rapat dan meminta penghentian pembahasan yang dinilai tertutup tersebut. Tindakan ini kemudian berujung pada laporan polisi terhadap para aktivis, memicu kecaman lebih keras dari berbagai pihak.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Arif Syamsudin, secara tegas mengecam langkah tersebut. Ia menilai tindakan pelaporan polisi terhadap aktivis yang menyuarakan aspirasi publik merupakan bentuk kriminalisasi gerakan sipil dan mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini diklaim sebagai landasan negara. "Upaya kritis masyarakat untuk mendorong keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses legislasi justru dibalas dengan pelaporan ke kepolisian. Ini menunjukkan pemerintah dan DPR kurang peka terhadap suara rakyat dan cenderung anti-kritis," tegas Arif dalam pernyataan resminya pada Senin, 17 Maret 2025. Arif juga mempertanyakan alasan di balik kerahasiaan rapat tersebut, khususnya mengingat adanya penghematan anggaran negara yang sedang berlangsung. "Mengapa pembahasan revisi UU TNI yang sangat sensitif ini harus dilakukan secara tertutup dan di tempat mewah seperti hotel berbintang? Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas pemerintahan," tambahnya.
Lebih lanjut, Arif menyoroti bahwa praktik tertutup dalam pengambilan keputusan strategis bukan hanya terjadi pada revisi UU TNI, tetapi juga pada revisi Undang-Undang Minerba dan sejumlah kebijakan penting lainnya. Ketidakhadiran partisipasi publik dalam proses tersebut menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. "Masyarakat yang akan langsung terdampak kebijakan tersebut justru tidak dilibatkan. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak konstitusional warga negara," ungkap Arif. Ia menegaskan bahwa partisipasi publik dan transparansi merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi dan negara hukum. Negara berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya proses pengambilan keputusan yang terbuka, demokratis, dan akuntabel. Keengganan pemerintah dan DPR untuk melibatkan publik dalam pembahasan revisi UU TNI, serta kebijakan strategis lainnya, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga legislatif.
Kekhawatiran LBH Semarang semakin diperkuat dengan adanya beberapa rancangan undang-undang sensitif lainnya yang sedang dalam proses pembahasan, seperti revisi Undang-Undang Kepolisian, RKUHP, dan KUHAP. Arif menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam proses pembahasan UU-UU tersebut untuk mencegah kemarahan publik dan menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah. "Jika pemerintah dan DPR terus melakukan praktik tertutup seperti ini, akibatnya akan sangat fatal bagi kepercayaan publik. Ini bisa memicu instabilitas politik dan sosial," pungkasnya. LBH Semarang mendesak pemerintah dan DPR untuk membuka akses informasi publik dan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan, khususnya yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
-
Daftar Tindakan yang Perlu Diperhatikan:
-
Meningkatkan transparansi dalam proses pembuatan kebijakan.
- Membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas.
- Menghindari praktik-praktik tertutup dan tidak akuntabel.
- Menjamin hak-hak dasar masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
- Menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis yang menyuarakan aspirasi publik.