Deflasi Februari 2025: Diskon Listrik Picu Penurunan Harga Konsumen Pertama Kali dalam 25 Tahun
Deflasi Februari 2025: Diskon Listrik Picu Penurunan Harga Konsumen Pertama Kali dalam 25 Tahun
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan fenomena langka dalam perekonomian Indonesia: deflasi. Data IHK Februari 2025 menunjukkan penurunan harga secara bulanan (month to month/mtm), tahunan (year on year/yoy), dan tahun kalender (year to date/ytd). Secara spesifik, deflasi mencapai 0,48 persen (mtm), 0,09 persen (yoy), dan 1,24 persen (ytd). Yang patut disoroti adalah deflasi tahunan (yoy) ini menandai peristiwa pertama kalinya dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, sejak Maret 2000.
Penurunan harga ini, berbeda dengan deflasi sebelumnya, didorong oleh faktor yang dominan: diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan dengan daya di bawah 2.200 VA yang diberlakukan sejak Januari 2025. Dampaknya terasa signifikan pada kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami deflasi sebesar 3,59 persen, berkontribusi 0,52 persen terhadap deflasi keseluruhan. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menekankan peran diskon listrik dalam konferensi pers Senin (3/3/2025), menyebutnya sebagai pendorong utama penurunan harga dalam dua bulan berturut-turut, Januari dan Februari.
Meskipun kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga mengalami deflasi 0,40 persen (mtm), berkontribusi 0,12 persen terhadap deflasi keseluruhan, kontribusi ini relatif lebih kecil dibandingkan dampak diskon listrik. Penurunan harga beberapa komoditas pangan bergejolak (volatile food) seperti daging ayam ras, bawang merah, dan cabai merah turut memberikan pengaruh, namun tetap berada di bawah dominasi faktor listrik.
Perbandingan dengan deflasi Maret 2000 juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Deflasi pada Maret 2000 diakibatkan penurunan harga bahan makanan, sementara deflasi Februari 2025 utamanya berasal dari kebijakan pemerintah terkait tarif listrik. Hal ini terlihat dari deflasi tahunan kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mencapai 12,08 persen di bulan Februari 2025, berbanding terbalik dengan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang justru mengalami inflasi tahunan 2,25 persen.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) mengalami deflasi 2,65 persen (mtm), berkontribusi 0,48 persen terhadap deflasi keseluruhan. Komponen volatile food juga mengalami deflasi 0,93 persen (mtm) dengan andil 0,16 persen. Namun, menariknya, komponen inti masih mencatat inflasi 0,25 persen (mtm) dengan andil inflasi 0,16 persen, menunjukkan bahwa dampak deflasi belum sepenuhnya merata di seluruh sektor.
BPS memastikan bahwa deflasi kali ini berbeda dengan peristiwa serupa pada Mei-September 2024 yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa deflasi Februari 2025 merupakan dampak langsung dari kebijakan diskon tarif listrik, bukan indikasi melemahnya ekonomi domestik.
Kesimpulannya, deflasi Februari 2025 merupakan peristiwa ekonomi yang unik dan perlu dianalisis lebih lanjut untuk memahami implikasi jangka panjangnya terhadap perekonomian nasional. Peran kebijakan pemerintah, khususnya dalam mengatur harga energi, menjadi faktor kunci dalam fenomena ini. Penting untuk memantau perkembangan harga komoditas dan daya beli masyarakat ke depannya untuk melihat kelanjutan tren ini.