IHSG Rebound Signifikan, Analis Imbau Kewaspadaan Terhadap Risiko Global

IHSG Rebound Signifikan, Analis Imbau Kewaspadaan Terhadap Risiko Global

Pasar saham domestik mencatat kinerja positif pada perdagangan Senin, 3 Maret 2025, ditandai dengan lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 3,97 persen atau 249,06 poin, menutup perdagangan di level 6.519,66. Kenaikan ini menjadi sebuah rebound signifikan setelah tekanan yang cukup berat pada pekan sebelumnya yang mengakibatkan penurunan IHSG hingga 11,43 persen sejak awal tahun. Indeks LQ45 juga ikut terdongkrak, mencapai 4,85 persen dan berada di angka 737,765. Meskipun demikian, analis tetap mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap berbagai risiko global yang masih membayangi.

Hendra Wardana, Founder Stocknow.id, mencatat bahwa nilai net buy asing yang relatif rendah, yakni hanya sekitar Rp 173 miliar, mengindikasikan bahwa pergerakan IHSG ini lebih mencerminkan koreksi teknikal (technical rebound) daripada sebuah pembalikan tren yang kuat dan berkelanjutan. Beberapa saham yang mencatat akumulasi pembelian asing signifikan meliputi BBCA (Rp 129 miliar), ASII (Rp 86 miliar), BBRI (Rp 56 miliar), dan JPFA (Rp 48 miliar). Di sisi lain, sejumlah saham mengalami net sell yang cukup besar, termasuk BBNI (Rp 128 miliar), BRIS (Rp 76 miliar), TLKM (Rp 70 miliar), dan INKP (Rp 61 miliar). Hendra menambahkan, kepercayaan diri terhadap penguatan IHSG akan lebih terkonfirmasi jika indeks mampu bertahan di atas level resistensi 6.500, diiringi peningkatan partisipasi investor asing dan perbaikan fundamental makroekonomi.

Risiko Global dan Kebijakan Moneter

Sentimen global tetap menjadi faktor penentu utama yang mempengaruhi pasar saham Indonesia. Tingginya suku bunga di Amerika Serikat, perlambatan ekonomi di China, dan volatilitas harga komoditas global menciptakan ketidakpastian yang signifikan. Kondisi ini mendorong para analis untuk mengimbau investor agar tetap berhati-hati dan mempertimbangkan risiko sebelum mengambil keputusan investasi. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 0,70 persen menjadi Rp 16.480 per dolar AS, meski menjadi indikator positif, belum cukup menjadi jaminan untuk optimisme jangka panjang.

Pasar masih menantikan kejelasan kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas likuiditas, serta kepastian terkait stimulus fiskal domestik dan kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat. Meskipun arus dana asing ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, masih terbuka, hal ini sangat bergantung pada daya tarik valuasi IHSG yang saat ini tergolong relatif murah dibandingkan pasar regional lainnya. Hendra menyoroti potensi IHSG untuk melanjutkan penguatan, dengan target resistensi di 6.626 dan support di 6.446. Beberapa saham yang menarik perhatian analis, antara lain SCMA (target harga 220), BRMS (target 394), dan BRIS (target 2.800).

Langkah Antisipatif OJK dan BEI

Sebagai langkah antisipatif untuk meredam gejolak pasar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menunda implementasi kebijakan short selling dan tengah mengkaji ulang kebijakan buyback saham tanpa persetujuan RUPS. Langkah-langkah ini diambil sebagai respon terhadap penurunan tajam IHSG pada Jumat, 28 Februari 2025, yang mencapai 3,31 persen dan menutup perdagangan di level 6.270,60. BEI juga telah mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak, termasuk OJK, perusahaan sekuritas, dan sejumlah konglomerat terkemuka, seperti Garibaldi Thohir (Adaro Energy), Franky Widjaja (Sinar Mas), dan Agus Salim Pangestu (Grup Barito), untuk membahas strategi pengelolaan pasar yang lebih efektif.

Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi dan analisis pasar. Penulis dan penerbit tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang mungkin timbul dari keputusan investasi yang diambil berdasarkan informasi ini. Keputusan investasi harus didasarkan pada riset dan pertimbangan risiko individu.