IHSG Ambruk 5 Persen: Risiko Fiskal dan Ketidakpastian Ekonomi Picu Aliran Modal ke Obligasi
IHSG Ambruk 5 Persen: Risiko Fiskal dan Ketidakpastian Ekonomi Picu Aliran Modal ke Obligasi
Penurunan drastis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5 persen pada Selasa (18/3/2025) pukul 11.19 WIB, hingga menyebabkan penghentian sementara perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), telah mengguncang pasar modal domestik. Anjloknya IHSG ini mencerminkan kekhawatiran mendalam para investor terhadap sejumlah faktor fundamental ekonomi makro yang semakin memburuk. Analis menilai, situasi ini mendorong pergeseran alokasi investasi dari saham ke aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi.
Maximilianus Nicodemus, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, menjelaskan bahwa kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang negatif sejak awal tahun menjadi pemicu utama pelemahan IHSG. Penerimaan pajak yang merosot hingga 30 persen pada akhir Februari telah memperlebar defisit APBN. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk meningkatkan penerbitan utang, yang pada Januari telah mencapai angka signifikan, yaitu 44,77 persen. "Meningkatnya risiko fiskal di Indonesia menjadi perhatian utama pelaku pasar," ungkap Nico. "Ketidakpastian ini membuat investor mencari alternatif investasi yang lebih aman dan menawarkan kepastian imbal hasil, sehingga saham menjadi kurang menarik dan obligasi menjadi pilihan yang lebih disukai."
Sentimen negatif ini diperkuat oleh Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang juga menyoroti menurunnya kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi nasional sebagai faktor pendorong anjloknya IHSG. Wijayanto mengidentifikasi beberapa isu krusial yang berkontribusi terhadap situasi ini:
- Kinerja APBN yang Buruk: Defisit APBN sebesar Rp 31,2 triliun pada akhir Februari 2025, berbanding terbalik dengan surplus Rp 22,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu, menjadi indikator utama pelemahan ekonomi. Penurunan pendapatan negara dan belanja pemerintah turut memperparah kondisi ini. Realisasi pendapatan hingga Februari hanya mencapai Rp 316,9 triliun, jauh di bawah realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp 439,2 triliun. Sementara itu, belanja negara juga turun menjadi Rp 348,1 triliun dari Rp 470,3 triliun pada Februari 2024.
- Kebijakan Ekonomi yang Tidak Realistis: Implementasi kebijakan ekonomi yang dianggap tidak realistis dan kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan turut mengurangi kepercayaan investor.
- Kasus Korupsi: Maraknya kasus korupsi berskala besar telah merusak kepercayaan dan menimbulkan ketidakpastian di kalangan investor.
- Revisi UU TNI: Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang menimbulkan kontroversi berpotensi memicu gejolak politik dan ketidakstabilan.
- Penurunan Rating Kredit: Ancaman penurunan peringkat kredit Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch, Moody's, dan S&P juga menambah kekhawatiran investor. Ketiga lembaga ini dijadwalkan mengumumkan peringkat kredit Indonesia pada Maret-April (Fitch dan Moody's) dan Juni-Juli (S&P).
Secara keseluruhan, penurunan IHSG yang signifikan ini merefleksikan akumulasi berbagai faktor negatif yang tengah melanda perekonomian Indonesia. Pergeseran investasi ke obligasi menunjukkan kurangnya kepercayaan investor terhadap prospek jangka pendek pasar saham, dan menandakan perlunya pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi masalah fundamental ekonomi yang mendasari penurunan tersebut. Ketidakpastian ekonomi dan risiko fiskal yang meningkat menjadi tantangan serius yang harus diatasi untuk mengembalikan kepercayaan investor dan menstabilkan pasar modal Indonesia.