IHSG Terjun Bebas 6,12 Persen: Gejolak Geopolitik dan Risiko Fiskal Membebani Pasar Modal
IHSG Terjun Bebas: Analisis Dampak Geopolitik dan Risiko Fiskal
Penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,12 persen atau 395,87 poin pada penutupan perdagangan sesi pertama Selasa, 18 Maret 2025, telah mengguncang pasar modal domestik. Bursa Efek Indonesia (BEI) merespon dengan memberlakukan trading halt setelah IHSG menukik lebih dari 5 persen, sebuah langkah yang sesuai dengan aturan BEI untuk mencegah penurunan yang lebih drastis. Indeks LQ45 pun ikut terdampak, terkoreksi 5,25 persen ke posisi 691,08. Penurunan ini memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan investor.
Analisis mendalam terhadap penyebab penurunan ini menunjukkan perpaduan faktor global dan domestik yang saling mempengaruhi. Secara global, meningkatnya ketidakpastian geopolitik, khususnya eskalasi konflik Rusia-Ukraina dan kebijakan tarif balasan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat, telah menciptakan sentimen negatif di pasar saham internasional. Kekhawatiran akan resesi ekonomi di Amerika Serikat semakin memperparah situasi, mendorong investor global untuk mencari aset-aset yang lebih aman dan berisiko rendah. Hal ini memicu arus modal keluar dari pasar saham emerging market, termasuk Indonesia.
Di sisi domestik, kondisi fiskal yang memburuk menjadi sorotan utama. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu Rp 31,2 triliun, jauh berbeda dengan surplus Rp 22,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan pendapatan negara, terutama dari penerimaan pajak domestik yang anjlok 30,19 persen (yoy) menjadi Rp 269 triliun, menjadi pemicu utama pelebaran defisit tersebut. Kondisi ini diperparah oleh kontraksi belanja negara sebesar 7 persen dan lonjakan utang pemerintah hingga 44,77 persen pada Januari 2025. Situasi ini meningkatkan kekhawatiran investor akan risiko fiskal Indonesia.
Lebih lanjut, kondisi fiskal yang lemah ini membatasi ruang gerak Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan. Ketidakmampuan BI untuk memberikan stimulus moneter yang lebih agresif semakin memperberat tekanan pada pasar saham. Kondisi ini mendorong investor untuk mencari alternatif investasi yang lebih konservatif, seperti obligasi, yang menawarkan imbal hasil yang lebih stabil di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi. Volatilitas pasar saham yang tinggi membuat saham kurang menarik sebagai instrumen investasi dalam jangka pendek.
Kesimpulannya, penurunan drastis IHSG merupakan dampak gabungan dari gejolak geopolitik global dan risiko fiskal domestik yang signifikan. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya stabilitas ekonomi makro dan pengelolaan fiskal yang prudent untuk menjaga kepercayaan investor dan daya tahan pasar modal Indonesia. Pemerintah dan otoritas terkait perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi tantangan ini dan memulihkan kepercayaan pasar.
Trading Halt dan Potensi Perpanjangan
- Trading halt diberlakukan ketika IHSG turun lebih dari 5 persen dalam sehari.
- Penurunan lebih dari 10 persen dapat menyebabkan perpanjangan trading halt hingga 30 menit.
- Penurunan lebih dari 15 persen berpotensi mengakibatkan penghentian perdagangan sepenuhnya (trading suspend).