Anjloknya IHSG di Tengah Penguatan Bursa Saham Asia: Analisis Kebijakan dan Prospek Pasar
Anjloknya IHSG di Tengah Penguatan Bursa Saham Asia: Analisis Kebijakan dan Prospek Pasar
Penurunan drastis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 248,55 poin (3,84 persen) pada perdagangan Selasa (18/3/2025), hingga menyentuh level 6.223,38, menjadi sorotan tajam di tengah penguatan kompak bursa saham kawasan Asia. Pergerakan IHSG yang langsung merosot ke zona merah sejak awal sesi perdagangan, bahkan menyentuh titik terendah 6.011,84 pada sesi pertama, menunjukkan kondisi pasar yang cukup memprihatinkan. Kejatuhan ini menandai titik terendah IHSG dalam tiga tahun terakhir, sebuah fakta yang semakin mempertegas keparahan situasi. Kondisi ini bahkan memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memberlakukan penghentian sementara perdagangan saham (trading halt).
Sebaliknya, bursa saham regional justru menunjukkan kinerja positif. Indeks Straits Times Singapura menguat 0,92 persen, KLSE Malaysia naik 1,04 persen, HNX Vietnam meningkat 0,11 persen, SET50 Thailand naik 0,70 persen, BSE100 India menguat 1,67 persen, Nikkei 225 Jepang naik 1,20 persen, Shanghai Stock Exchange China naik 0,11 persen, dan Hang Seng Hong Kong mengalami peningkatan sebesar 2,46 persen. Kontras yang tajam ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan penurunan signifikan IHSG secara terisolasi.
Analisis dari Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, memberikan perspektif menarik. Meskipun rasio Price Earning (PE) IHSG sebesar 15 kali dan Price Book Value (PBV) 1,8 kali terbilang rendah dibandingkan dengan beberapa bursa saham lain—misalnya, Jepang dengan PE 19,2 kali dan PBV 1,9 kali—namun tidak ada bursa lain yang mengalami penurunan serupa. Liza menekankan perbedaan respon pemerintah terhadap pasar modal di masing-masing negara. Ia menyoroti peran aktif pemerintah negara lain, seperti China yang menggelontorkan stimulus 800 miliar yuan (sekitar Rp 1.760 triliun) pada September 2024 untuk menopang likuiditas pasar modal, terdiri dari 500 miliar yuan untuk fasilitas swap dan 300 miliar yuan untuk refinancing. Bahkan, regulator di negara tersebut aktif mempelajari skema pendanaan untuk stabilisasi harga saham.
Kurangnya intervensi pemerintah Indonesia dan otoritas bursa dalam negeri dalam menciptakan iklim pasar modal yang kondusif dan terstruktur menjadi sorotan utama. Liza menyatakan keprihatinan atas kurangnya perhatian pemerintah terhadap posisi IHSG, yang seharusnya merepresentasikan kesehatan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Ia juga mengingatkan pentingnya langkah-langkah konkret untuk mengatasi situasi ini, termasuk memperhatikan level psikologis IHSG di angka 6.000 dan support bulanan di posisi 5.880. Situasi ini memerlukan respons cepat dan terukur dari pemerintah dan otoritas terkait untuk mencegah penurunan yang lebih parah dan mengembalikan kepercayaan investor.
Kesimpulannya, anjloknya IHSG di tengah penguatan pasar saham Asia menyoroti perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan dan strategi pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas pasar modal. Perbandingan dengan langkah-langkah proaktif pemerintah di negara lain menjadi bukti pentingnya peran aktif pemerintah dalam mendukung dan melindungi pasar saham domestik. Langkah-langkah konkret dan terukur diperlukan untuk mencegah penurunan yang lebih lanjut dan untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia.