Sistem Remunerasi RSUD Tjokronegoro Menuai Protes, Dokter Mogok Kerja Karena Upah Rendah

Sistem Remunerasi RSUD Tjokronegoro Menuai Protes, Dokter Mogok Kerja Karena Upah Rendah

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RAA Tjokronegoro di Purworejo, Jawa Tengah, tengah menghadapi polemik internal terkait sistem remunerasi tenaga medis. Aksi mogok kerja yang dilakukan oleh dua dokter spesialis selama sepekan, mulai Kamis (13/3/2025) hingga Rabu (19/3/2025), menyoroti permasalahan upah jasa pelayanan medis yang dinilai jauh di bawah standar dan layak. Para dokter yang mogok kerja mengaku kecewa dengan besaran upah yang diterima, khususnya untuk penanganan pasien BPJS Kesehatan.

Direktur RSUD RAA Tjokronegoro, Dony Prihartanto, mengakui adanya permasalahan dalam sistem pengupahan yang mengacu pada Peraturan Bupati (Perbup) tahun 2022. Dony, yang menjabat sejak tahun 2023, menjelaskan bahwa sistem remunerasi tersebut masih dalam tahap implementasi dan membutuhkan penyesuaian. Ia menyatakan keheranannya terhadap angka upah yang diterima dokter, mengakui bahwa angka tersebut memang rendah dan tidak sebanding dengan beban kerja dan risiko yang ditanggung. "Melihat angka segitu pasti kita kaget, saya pun demikian," ujarnya dalam keterangan resmi.

Ketimpangan Sistem Pembayaran BPJS Kesehatan

Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya upah dokter adalah sistem pembayaran BPJS Kesehatan. Sebanyak 85 persen pasien RSUD RAA Tjokronegoro merupakan peserta JKN BPJS Kesehatan. Sistem pembayaran BPJS Kesehatan yang berbasis paket klaim, menurut Dony, seringkali tidak sebanding dengan biaya riil pelayanan medis yang diberikan. Contohnya, untuk kasus yang sama, rumah sakit mungkin mengeluarkan biaya lebih tinggi karena kompleksitas medis, namun klaim BPJS Kesehatan tetap sama. Hal ini mengakibatkan pembagian upah kepada dokter menjadi tidak proporsional.

Upah Minim untuk Prosedur Medis Kompleks

Dr. Aziz, dokter ahli bedah yang turut serta dalam aksi mogok kerja, mengungkapkan ketimpangan yang dialami. Ia mencontohkan upah jasa pelayanan medis untuk pasien rawat jalan yang hanya berkisar Rp 3.000 hingga Rp 8.000. Lebih mengejutkan lagi, untuk operasi usus buntu yang pecah dan membutuhkan waktu tiga jam, dokter hanya menerima upah sebesar Rp 100.000. Operasi caesar, yang memiliki risiko tinggi, juga hanya dihargai Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Angka-angka ini jauh dari harapan dan tidak sebanding dengan beban kerja, risiko, dan keahlian yang dibutuhkan.

Upaya Mencari Solusi dan Kesepakatan

Manajemen RSUD RAA Tjokronegoro telah membuka ruang diskusi dengan para dokter untuk mencari solusi. Pertemuan telah direncanakan untuk membahas dan memperbaiki sistem remunerasi agar lebih adil dan proporsional. Setelah aksi mogok, manajemen dan para dokter telah mencapai kesepakatan untuk duduk bersama dan membahas solusi ke depan. Meskipun prosesnya membutuhkan waktu, Dony berharap sistem remunerasi yang baru dapat memberikan upah yang lebih layak bagi seluruh tenaga medis di RSUD RAA Tjokronegoro. Para dokter yang mogok rencananya akan kembali bertugas pada Kamis (20/3/2025) setelah audiensi dengan pihak rumah sakit dan Wakil Bupati Purworejo.

Perlu Evaluasi Sistem Remunerasi

Kasus ini menyoroti pentingnya evaluasi sistem remunerasi di rumah sakit, khususnya yang melibatkan BPJS Kesehatan. Sistem yang tidak adil dan tidak mencerminkan beban kerja serta risiko yang ditanggung tenaga medis dapat berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan dan menimbulkan demotivasi di kalangan tenaga profesional. Perlu adanya transparansi dan keadilan dalam distribusi upah untuk memastikan keberlangsungan pelayanan kesehatan yang optimal.