Kerusakan Lingkungan Puncak: Akar Masalah Bencana Banjir dan Desakan Revisi UU Kehutanan

Kerusakan Lingkungan Puncak: Akar Masalah Bencana Banjir dan Desakan Revisi UU Kehutanan

Banjir yang melanda kawasan Puncak, Bogor, dan sekitarnya secara berulang, khususnya kejadian awal Maret lalu, telah memicu perdebatan sengit mengenai akar permasalahan di balik bencana tersebut. Lebih dari sekadar faktor alam, para ahli dan aktivis lingkungan menyoroti peran signifikan alih fungsi lahan dan kerusakan hutan sebagai kontributor utama. Bukan lagi sekadar kesalahan individu, tetapi sebuah sistem yang diduga telah difasilitasi oleh pihak-pihak tertentu yang dinilai bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang meluas di kawasan Puncak.

Anggi Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), dalam Focus Group Discussion (FGD) Rencana Revisi Undang-Undang Kehutanan pada 18 Maret 2025, mengungkapkan indikasi kuat adanya 'dalang' di balik kerusakan lingkungan yang masif ini. Menurutnya, kerusakan hutan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali telah mengubah daerah resapan air menjadi kawasan pembangunan, seperti pembangunan objek wisata dan infrastruktur jalan, yang secara langsung memperparah dampak banjir. FWI sendiri mencatat angka penyusutan kawasan lindung di Kabupaten Bogor mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu lebih dari 70.000 hektar. Konversi lahan lindung menjadi lahan budidaya telah mempercepat pembangunan yang tidak terkendali, sehingga memperbesar dampak negatif terhadap lingkungan.

Lebih lanjut, Anggi menekankan urgensi revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk memberikan sanksi tegas kepada para perusak lingkungan dan mengembalikan fungsi kawasan lindung. Ia mengusulkan beberapa langkah konkret, antara lain:

  • Reforestasi: Gerakan penanaman kembali hutan secara besar-besaran yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
  • Insentif: Pemberian insentif kepada masyarakat yang berpartisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan.
  • Tanggung Jawab Pemerintah: Alokasi anggaran yang jelas dan terukur dari Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan pemerintah pusat untuk program reforestasi dan pemulihan lingkungan.

Senada dengan Anggi, Sunaryo dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) menyatakan perlunya sikap tegas pemerintah dalam menjaga kelestarian kawasan Puncak. Ia menekankan pentingnya pembatasan pembangunan fisik hanya untuk kepentingan yang sangat mendesak dan mendesak untuk dilakukan pengawasan yang ketat terhadap izin pembangunan dan pemukiman. Sunaryo juga menyoroti lambannya penanganan pelanggaran yang terjadi di masa lalu, menyarankan agar pemerintah lebih responsif dan cepat dalam menindak pelanggaran perizinan yang berpotensi merusak lingkungan. Keengganan untuk menindak pelanggaran di masa lalu dinilai sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan di Puncak menjadi semakin parah.

Kesimpulannya, bencana banjir di Puncak bukan hanya disebabkan oleh faktor alam semata, melainkan juga karena kerusakan lingkungan yang sistemik dan terencana. Revisi Undang-Undang Kehutanan, penegakan hukum yang tegas, serta partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini dan mencegah bencana serupa terjadi di masa mendatang. Perlu adanya kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi untuk merestorasi ekosistem Puncak dan memastikan keberlanjutan lingkungan di kawasan tersebut.