Kasus 1,1 Ton Emas Antam: Budi Said Divonis 16 Tahun Penjara, Gugatan Perdata Ditolak MA
Kasus 1,1 Ton Emas Antam: Putusan MA Menutup Sengketa Panjang
Perjalanan hukum yang panjang dan berliku antara pengusaha Budi Said dengan PT Antam terkait sengketa 1,1 ton emas akhirnya menemui titik akhir. Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Antam, sekaligus membatalkan putusan pengadilan sebelumnya yang memenangkan Budi Said dalam gugatan perdata. Keputusan ini mengakhiri upaya Budi Said untuk mendapatkan emas tersebut melalui jalur perdata, dan secara tegas menyatakan bahwa PT Antam tidak berkewajiban menyerahkan emas tersebut. Sengketa ini bermula pada tahun 2018, saat Budi Said mengklaim adanya kekurangan emas dalam transaksi pembeliannya dari PT Antam.
Setelah melewati berbagai tahapan persidangan, termasuk kemenangan di tingkat pertama dan kekalahan di tingkat banding, kasasi Budi Said sempat dikabulkan MA. Namun, langkah hukum PT Antam melalui dua kali Peninjauan Kembali akhirnya berhasil membalikkan keadaan. Putusan MA yang menolak PK kedua Antam menjadi penegasan final atas tidak adanya kewajiban PT Antam untuk menyerahkan 1,1 ton emas kepada Budi Said. Hal ini menandai berakhirnya babak perdata dalam kasus ini.
Putusan Pidana: 16 Tahun Penjara dan Denda Miliaran Rupiah
Secara terpisah, Budi Said juga menghadapi proses hukum pidana terkait kasus yang sama. Ia telah divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta atas tuduhan merugikan keuangan negara. Vonis ini memperberat hukuman yang sebelumnya dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, yaitu 15 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Budi Said juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti senilai Rp 1,1 triliun. Uang pengganti tersebut mencakup nilai 58,841 kg emas Antam (Rp 35,5 miliar) yang dinyatakan hakim telah digelapkan dan 1.136 kg emas (Rp 1 triliun) berdasarkan Harga Pokok Produksi Emas Antam Desember 2023.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam putusan sebelumnya telah menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti pembelian emas 1.136 kg oleh Budi Said. Pertimbangan kerugian negara yang ditetapkan hakim berbeda dengan yang didakwakan jaksa. Jaksa semula mendakwa Budi Said merugikan negara sebesar Rp 1,1 triliun. Namun, hakim hanya menetapkan kerugian negara sebesar Rp 35,5 miliar berdasarkan bukti yang ada. Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas dan perbedaan interpretasi fakta dalam kasus tersebut.
Proses hukum yang dilalui Budi Said, mulai dari gugatan perdata hingga putusan pidana, melibatkan beberapa pihak, termasuk mantan pejabat PT Antam. Perkara ini menyorot pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi jual beli emas skala besar, serta penegakan hukum yang adil dan proporsional dalam menghadapi kasus-kasus dengan implikasi ekonomi yang signifikan. Perkara ini juga menyoroti betapa rumit dan panjangnya proses hukum di Indonesia, serta bagaimana putusan pengadilan dapat berubah seiring dengan tahapan banding dan peninjauan kembali yang diajukan.
Putusan MA Nomor 815 PK/PDT/2024
Putusan Mahkamah Agung Nomor 815 PK/PDT/2024, yang dibacakan pada 11 Maret 2025 dan diketok oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Suharto, secara resmi menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Antam. Putusan ini mengukuhkan putusan sebelumnya yang menyatakan PT Antam tidak berkewajiban menyerahkan 1,1 ton emas kepada Budi Said. Perlu dicatat bahwa terdapat perubahan pergantian ketua majelis pada 18 November 2024 dan 19 Desember 2024 sebelum putusan final dibacakan.
Kasus ini menyoroti pentingnya aspek bukti dan proses hukum yang teliti dalam kasus-kasus ekonomi besar. Perbedaan interpretasi hukum dan bukti yang ada sepanjang proses hukum ini menjadi bukti kompleksitas permasalahan tersebut. Putusan akhir ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.