Jakarta Perluas Pemantauan Kualitas Udara, Tiru Strategi Paris dan Bangkok untuk Tekan Polusi

Jakarta Perluas Pemantauan Kualitas Udara, Tiru Strategi Paris dan Bangkok untuk Tekan Polusi

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berupaya keras mengatasi permasalahan polusi udara yang semakin mengkhawatirkan. Sebagai langkah strategis, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta akan mengadopsi strategi pengelolaan kualitas udara yang diterapkan di kota-kota besar seperti Paris dan Bangkok. Hal ini diungkapkan oleh Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, yang menekankan perlunya peningkatan infrastruktur pemantauan kualitas udara untuk intervensi yang lebih cepat dan akurat. Saat ini, Jakarta hanya memiliki 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU), jauh di bawah jumlah SPKU di Paris (400 unit) dan Bangkok (1000 unit).

"Peningkatan jumlah SPKU menjadi prioritas utama kami," ujar Asep Kuswanto dalam keterangan persnya. "Target kami adalah menambah setidaknya 1000 sensor kualitas udara berbiaya rendah (low-cost sensors) untuk cakupan pemantauan yang lebih luas dan presisi. Data yang akurat dan terintegrasi akan menjadi kunci keberhasilan dalam mengidentifikasi sumber-sumber polusi dan merumuskan strategi penanggulangan yang tepat." Selain penambahan SPKU, keterbukaan data polusi udara juga menjadi fokus utama. Asep Kuswanto menegaskan pentingnya transparansi data untuk mendukung intervensi yang efektif dan berkelanjutan, bukan hanya solusi jangka pendek.

Sementara itu, Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara BMKG, Taryono Hadi, memberikan perspektif mengenai pengaruh iklim terhadap kualitas udara Jakarta. Ia menjelaskan bahwa pergeseran pola musim kemarau tahun ini, yang diperkirakan akan dimulai lebih lambat dan mencapai puncaknya di bulan September, berpotensi memperparah kualitas udara. "Curah hujan rendah selama periode Juni hingga Agustus biasanya berdampak negatif terhadap kualitas udara, karena partikel polutan sulit terurai dan konsentrasi polutan seperti PM2.5 meningkat signifikan," papar Taryono Hadi.

Lebih lanjut, Profesor Puji Lestari, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), menyoroti kontribusi sektor industri dan transportasi terhadap polusi udara di Jakarta. Ia menekankan bahwa aktivitas industri di wilayah Jabodetabek, termasuk pembangkit listrik dan emisi karbon monoksida (CO), merupakan kontributor utama polusi. Emisi dari kendaraan bermotor juga berkontribusi signifikan terhadap buruknya kualitas udara. "Kompleksitas permasalahan ini menuntut koordinasi lintas wilayah dan pendekatan berbasis data yang komprehensif untuk mencapai perbaikan yang berkelanjutan," tegas Prof. Puji Lestari. Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi antar pemerintah daerah dan pendekatan holistik dalam mengatasi masalah polusi udara yang lintas batas administrasi ini.

Kesimpulannya, upaya Pemprov DKI Jakarta untuk meniru strategi Paris dan Bangkok dalam mengatasi polusi udara merupakan langkah positif. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah daerah, sektor industri, dan masyarakat, serta dukungan data yang akurat dan keterbukaan informasi. Perbaikan kualitas udara di Jakarta memerlukan pendekatan multisektoral dan berkelanjutan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.