Pembatasan Angkutan Lebaran 2025: Ancaman Kerugian Ekonomi Triliunan Rupiah dan Dampak Sosial yang Luas

Pembatasan Angkutan Lebaran Ancam Ekonomi dan Kesejahteraan Sopir

Pemerintah akan memberlakukan pembatasan angkutan barang selama 16 hari menjelang dan pasca Lebaran 2025, terhitung mulai 24 Maret hingga 8 April. Kebijakan ini menuai protes keras dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), yang memprediksi potensi kerugian ekonomi mencapai Rp1 triliun hingga Rp5 triliun. Perpanjangan masa pembatasan, yang sebelumnya hanya 10 hari pada Lebaran tahun lalu, dinilai akan berdampak sangat signifikan terhadap sektor logistik dan kesejahteraan para pekerja di dalamnya.

Ketua Umum DPP Aptrindo, Gemilang Tarigan, mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait kebijakan ini. Ia menjelaskan bahwa pembatasan tersebut bukan hanya menimbulkan kerugian finansial bagi para pengusaha, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Komitmen ekspor yang telah disepakati sebelumnya terancam gagal akibat pembatasan operasional yang mendadak. “Jadwal pengiriman sudah ditetapkan jauh-jauh hari. Pembatasan ini akan menyebabkan pelanggaran kontrak dan berujung pada kerugian finansial yang signifikan, bahkan berisiko pada ketidakmampuan membayar para mitra bisnis,” ujar Gemilang dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/3/2025).

Dampaknya tidak hanya berhenti pada pengusaha. Wakil Sekretaris Jenderal DPP Aptrindo, Agus Pratiknyo, menekankan bahwa para sopir dan kernet menjadi pihak yang paling rentan terkena imbas. Mereka yang digaji harian akan kehilangan pendapatan selama masa pembatasan. “Bayangkan, jutaan kendaraan beroperasi di Indonesia, masing-masing dengan sopir dan kernet. Di Pulau Jawa saja ada sekitar 5.000 unit angkutan. Kalikan dengan jumlah sopir dan kernet, ditambah lagi tanggungan keluarga mereka, dampaknya sangat besar,” tegas Agus. Ia menambahkan bahwa ancaman kredit macet akibat tidak terpenuhinya kewajiban finansial juga mengintai para pengusaha truk.

Lebih lanjut, Agus mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut dan memperhatikan dampak sosial ekonomi yang luas. Pembatasan yang terlalu panjang berpotensi menimbulkan masalah yang merembet ke berbagai sektor, mulai dari kelancaran distribusi barang hingga stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Kehilangan pendapatan para sopir dan kernet, misalnya, bisa memicu masalah sosial dan ekonomi keluarga mereka. Oleh karena itu, Aptrindo meminta agar pemerintah dapat berdialog dan mencari solusi yang lebih bijak, yang tidak hanya fokus pada kelancaran arus mudik Lebaran, tetapi juga mempertimbangkan dampak terhadap sektor logistik dan kesejahteraan masyarakat.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan terkait dampak kebijakan ini:

  • Kerugian finansial: Potensi kerugian mencapai Rp1 triliun hingga Rp5 triliun.
  • Gangguan ekspor: Ancaman terhadap komitmen ekspor dan reputasi Indonesia di mata internasional.
  • Dampak terhadap pekerja: Kehilangan pendapatan bagi ribuan sopir dan kernet serta keluarga mereka.
  • Ancaman kredit macet: Risiko bagi pengusaha truk akibat terhambatnya pendapatan.
  • Dampak ekonomi makro: Potensi gangguan distribusi barang dan stabilitas ekonomi.

Apindo berharap pemerintah dapat segera mencari solusi alternatif yang dapat menyeimbangkan kelancaran arus mudik dengan kelangsungan usaha sektor logistik dan kesejahteraan para pekerja di dalamnya.