Pariwisata: Jurus Ampuh Pulihkan Ekonomi Indonesia Pasca-Krisis IHSG 2025

Pariwisata: Jurus Ampuh Pulihkan Ekonomi Indonesia Pasca-Krisis IHSG 2025

Penurunan drastis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,11% pada Maret 2025 telah mengguncang fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini bertumpu pada sektor komoditas dan manufaktur. Krisis ini bukan hanya sekadar gejolak pasar modal, melainkan ujian berat bagi ketahanan ekonomi nasional. Di tengah badai tersebut, sektor pariwisata, meskipun turut terdampak, justru menawarkan potensi luar biasa sebagai instrumen pemulihan ekonomi yang selama ini kurang mendapat perhatian. Potensi ini perlu segera direalisasikan melalui strategi terintegrasi dan transformasi paradigma yang komprehensif.

Dampak Multidimensi Krisis IHSG terhadap Pariwisata

Krisis IHSG 2025 menimbulkan dampak sistemik dan multidimensi pada sektor pariwisata Indonesia. Pada level mikro, pelaku usaha pariwisata mengalami kesulitan likuiditas akibat investor yang menarik modal dari saham-saham sektor perhotelan dan rekreasi. Penurunan kapitalisasi pasar hotel terbuka (Tbk) mencapai 22,3%, jauh lebih dalam daripada rata-rata penurunan sektor lain (17,8%). Kondisi ini memicu spiral negatif: pemotongan biaya operasional, pengurangan tenaga kerja, dan pembatalan rencana ekspansi.

Pada level menengah, keterbatasan akses permodalan menghambat pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata. Proyek pengembangan lima Destinasi Super Prioritas (DSP) mengalami pemangkasan anggaran signifikan, dari Rp 27,6 triliun menjadi Rp 16,4 triliun (penurunan 40,5%). Hal ini berdampak pada daya saing destinasi tersebut di kancah regional.

Di level makro, volatilitas nilai tukar rupiah menimbulkan dilema kebijakan. Depresiasi rupiah sebesar 8,2% terhadap dolar AS seharusnya meningkatkan daya saing harga destinasi Indonesia. Namun, ketidakpastian ekonomi telah menurunkan confidence index wisatawan dari pasar utama seperti Tiongkok (-15,3%), Singapura (-9,7%), dan Australia (-11,2%). Riset Bank Indonesia menunjukkan bahwa confidence index lebih berpengaruh terhadap keputusan berwisata dibandingkan faktor harga dalam kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Potensi Pariwisata yang Belum Teroptimalkan

Meskipun terdampak krisis, sektor pariwisata Indonesia memiliki karakteristik counter-cyclical yang belum dioptimalkan sepenuhnya. Analisis data historis 25 tahun terakhir menunjukkan bahwa sektor ini memiliki recovery rate 2,4 kali lebih cepat daripada sektor manufaktur setelah krisis ekonomi. Keunggulan ini didorong oleh tiga faktor fundamental:

  1. Elastisitas Permintaan yang Tinggi: Elastisitas permintaan pariwisata Indonesia terhadap perubahan harga mencapai 1,73, lebih tinggi daripada rata-rata ASEAN (1,45). Penurunan harga 10% berpotensi meningkatkan permintaan hingga 17,3%. Depresiasi rupiah, jika dikelola dengan strategi pemasaran yang tepat, dapat menjadi katalis pemulihan kunjungan wisatawan mancanegara.
  2. Multiplier Effect yang Besar: Multiplier effect pariwisata Indonesia mencapai 1:2,3, artinya setiap rupiah pengeluaran wisatawan menghasilkan dampak ekonomi 2,3 kali lipat. Angka ini lebih tinggi daripada sektor migas (1:1,6) dan manufaktur padat modal (1:1,8). Hal ini karena 72% komponen produk pariwisata berasal dari ekonomi lokal.
  3. Intensitas Modal Rendah: Intensitas modal untuk menciptakan satu lapangan kerja di sektor pariwisata hanya Rp 157 juta, jauh lebih rendah daripada manufaktur (Rp 635 juta) atau pertambangan (Rp 1,2 miliar). Stimulus yang sama akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja 4-7 kali lebih besar jika dialokasikan ke sektor pariwisata.

Strategi Memanfaatkan Pariwisata sebagai Lokomotif Pemulihan

Untuk menjadikan pariwisata sebagai lokomotif pemulihan ekonomi, dibutuhkan reorientasi paradigma dan kebijakan terintegrasi. Strategi yang perlu diimplementasikan antara lain:

  • Stimulus Fiskal Terarah: Alokasi stimulus fiskal sebesar 0,5% PDB khusus untuk ekosistem pariwisata dengan pendekatan value-chain akan menghasilkan dampak pertumbuhan 1,2% PDB dalam 18 bulan. Stimulus difokuskan pada infrastruktur konektivitas, digitalisasi UMKM, dan pengembangan keterampilan tenaga kerja.
  • Rebalancing Portofolio Destinasi: Diversifikasi portofolio destinasi dengan memperkuat 15 destinasi emerging yang memiliki nilai jual unik akan mengurangi konsentrasi risiko. Saat ini, 72,8% pendapatan pariwisata masih terkonsentrasi di Bali dan Jakarta. Diversifikasi juga mencakup produk wisata, dari wisata pantai ke gastronomi, wellness, dan wisata budaya.
  • Instrumen Pembiayaan Khusus: Pembentukan Tourism Infrastructure Fund dengan pendekatan blended finance yang menggabungkan dana pemerintah, multilateral, dan swasta dapat mengatasi kesenjangan pembiayaan.

Transformasi Paradigma dan Kelembagaan

Indonesia perlu memposisikan pariwisata sebagai pilar strategis ekonomi nasional, bukan sekadar sektor tambahan. Reposisi kelembagaan diperlukan melalui peningkatan koordinasi antar kementerian melalui Tourism Recovery Task Force. Transformasi digital dan penguatan kapasitas destinasi juga menjadi prasyarat keberhasilan. Krisis IHSG 2025 telah membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan melalui sektor pariwisata.