Bayang-Bayang Dwifungsi TNI dan Tragedi Marsinah: Sebuah Peringatan Sejarah
Bayang-Bayang Dwifungsi TNI dan Tragedi Marsinah: Sebuah Peringatan Sejarah
Perdebatan seputar revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menghangat, memicu kekhawatiran akan kembalinya doktrin dwifungsi ABRI. Di tengah hiruk pikuk politik dan wacana revisi tersebut, kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada tahun 1993 menjadi cerminan kelam dari era dwifungsi tersebut dan sebuah peringatan bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kisah Marsinah, seorang perempuan muda yang gigih memperjuangkan hak-hak buruh di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), Sidoarjo, bukan sekadar catatan sejarah kelam, melainkan alarm yang terus berdering di tengah upaya reformasi pertahanan dan keamanan negara.
Marsinah, lahir 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, menjadi simbol perlawanan buruh terhadap eksploitasi dan ketidakadilan. Di tengah upah minimum regional (UMR) Jawa Timur yang ditetapkan sebesar Rp 2.250 pada tahun 1993, dan imbauan kenaikan upah 20 persen dari Gubernur Jawa Timur, Marsinah berjuang untuk menaikkan upah buruh PT. CPS dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Ia juga memperjuangkan hak-hak dasar buruh lainnya, seperti cuti hamil dan haid, serta upah lembur. Namun, tuntutan yang sejatinya sah dan manusiawi itu berujung tragedi. Mogok kerja yang dilakukan Marsinah dan rekan-rekannya sebagai bentuk protes, berakhir dengan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan keji. Jasadnya ditemukan pada 8 Mei 1993 di Desa Jagong, Nganjuk, dengan bekas penyiksaan dan perkosaan yang mengerikan. Hasil visum bahkan menunjukkan penyebab kematian akibat tembakan senjata api, menguatkan dugaan keterlibatan pihak-pihak berwenang dalam peristiwa ini.
Dwifungsi ABRI dan Represi Gerakan Buruh
Kematian Marsinah tak bisa dipisahkan dari konteks dwifungsi ABRI yang saat itu masih berlaku. Selama Orde Baru, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang kemudian berganti nama menjadi TNI, memiliki peran ganda, baik dalam pertahanan dan keamanan negara, maupun dalam urusan sipil, termasuk hubungan industrial. Intervensi militer dalam dunia perburuhan mengakibatkan represi sistematis terhadap gerakan buruh. Serikat buruh independen dan kiri dihancurkan, sementara serikat buruh yang tersisa dikontrol dan dijadikan alat negara, meniadakan representasi sejati kepentingan para pekerja. Paradigma “stabilitas” yang dianut Orde Baru menempatkan gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah dan hak-haknya sebagai ancaman bagi negara. Keterlibatan aparat keamanan, bahkan hingga tingkat Kodim dan Korem, dalam penyelesaian masalah perburuhan, menciptakan iklim intimidasi dan kekerasan terhadap buruh. Banyak kasus menunjukkan perwakilan buruh di perusahaan justru adalah mantan perwira militer yang berfungsi sebagai mata-mata perusahaan untuk mengawasi aktivitas buruh.
Revisi UU TNI dan Ancaman Dwifungsi
Revisi UU TNI, meski telah mengalami perubahan setelah mendapat penolakan publik, tetap menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran militer dalam urusan sipil. Angka 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil melampaui batas yang diizinkan undang-undang, menjadi bukti nyata meluasnya peran militer di pemerintahan. Keterlibatan TNI dalam proyek pemerintah, seperti ketahanan pangan dan program makan bergizi gratis, menunjukkan adanya pergeseran peran yang mengkhawatirkan. Lebih lanjut, cara pandang militeristik yang kaku dan anti kritik dalam pemerintahan merupakan ancaman nyata bagi demokrasi dan kebebasan sipil. Kehadiran militer dalam berbagai lini kehidupan sipil, tidak hanya berpotensi mengulang tragedi Marsinah, namun juga membatasi ruang gerak organisasi buruh dan masyarakat sipil lainnya dalam menyuarakan hak-haknya.
Tragedi Marsinah menjadi pengingat akan bahaya dwifungsi TNI dan pentingnya menjaga ruang sipil dari dominasi militer. Kasus ini menjadi tonggak penting dalam perjuangan hak asasi manusia dan demokrasi Indonesia. Semoga revisi UU TNI benar-benar memperkuat profesionalisme TNI dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan. Kata-kata penyair Wiji Thukul yang hilang di era Orde Baru, “Sampeyan itu tidak akan mengerti fasisme sebelum sepatu tentara nempel di jidat,” tetap relevan hingga kini sebagai peringatan bagi seluruh elemen bangsa.