Alih Fungsi Lahan di Kawasan Bandung Utara Picu Banjir Bandang di Bandung Raya

Alih Fungsi Lahan di KBU sebagai Biang Kerok Banjir Bandung Raya

Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bandung Raya akhir-akhir ini telah menyita perhatian publik dan pemerintah daerah. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara tegas menunjuk alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai penyebab utama bencana tersebut. Pernyataan ini disampaikan Dedi saat mengunjungi Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang menjadi salah satu wilayah terdampak banjir akibat meluapnya Sungai Cimeta pada Rabu (19/3/2025).

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa perubahan tata guna lahan di KBU, khususnya konversi lahan hutan menjadi perkebunan sayur dengan metode pertanian yang tidak ramah lingkungan, telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang parah. Penggunaan plastik dalam pertanian tersebut, menurutnya, semakin memperparah masalah dengan mengurangi daya serap air tanah. Akibatnya, sungai-sungai di daerah tersebut mengalami pendangkalan dan debit air meningkat drastis saat hujan deras, sehingga mengakibatkan banjir yang merendam puluhan rumah penduduk.

"Hutan di kawasan hulu sudah berubah menjadi perkebunan sayur yang menggunakan plastik dalam proses penanamannya. Praktik ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan mempercepat pendangkalan sungai," ungkap Dedi Mulyadi. Ia menambahkan bahwa kondisi ini telah menciptakan lahan kritis yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi, termasuk banjir.

Untuk mengatasi masalah ini, Dedi Mulyadi berencana menerapkan strategi penataan serupa dengan yang telah berhasil diimplementasikan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Penertiban dan pengawasan terhadap aktivitas yang merusak lingkungan di KBU menjadi fokus utama dalam rencana tersebut. Ia menekankan pentingnya pemulihan ekosistem dan penguatan kapasitas daerah dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Sementara itu, Zulkifli (58), warga Kampung Cibarengkok, Desa Nyalindung, yang rumahnya terendam banjir, menceritakan bahwa banjir baru terjadi dalam dua tahun terakhir. Sebelum periode tersebut, selama hampir 60 tahun ia tinggal di wilayah tersebut, tidak pernah mengalami kejadian serupa. Zulkifli mencurigai bahwa proyek-proyek pembangunan infrastruktur berskala besar di wilayah hulu, seperti pembangunan kereta cepat dan jalan tol, turut andil dalam mengurangi daya serap air tanah dan memperparah dampak banjir.

"Saya menduga pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat dan jalan tol di wilayah hulu mengurangi daya serap air. Ini mungkin menjadi salah satu penyebab banjir yang semakin sering terjadi," ujar Zulkifli. Ia berharap pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mengendalikan pembangunan di wilayah hulu dan menormalisasi sungai guna mencegah terulangnya bencana banjir di masa mendatang. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan agar warga di wilayah hilir tidak terus menderita akibat bencana banjir.

Dampak banjir ini tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis bagi warga yang terdampak. Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya peran pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengelola pembangunan secara berkelanjutan. Langkah-langkah konkret dan terintegrasi dibutuhkan untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan dan mencegah terjadinya bencana serupa di masa depan. Perlu koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan keberhasilan strategi penanggulangan banjir di Bandung Raya.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Pengawasan ketat alih fungsi lahan di KBU.
  • Penerapan pertanian ramah lingkungan di KBU.
  • Penataan kawasan hulu untuk meningkatkan daya serap air.
  • Normalisasi sungai dan perbaikan infrastruktur.
  • Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan.